Ahli Hukum Prof. Suhandi: “Haruskah Lembaga Kehakiman Dipangkas?”
Rabu, 02 Juli 2025 | Dilihat: 40 Kali
Guru Besar, Ahli Hukum Prof. DR. Suhandi Cahaya, SH, MA, MBA
JAKARTA, tabloidskandal.com – Jangankan 280 persen gaji hakim dinaikan, sampai seribu persen sekalipun tidak akan merubah moral hakim yang nakal. Kenaikan gaji yang diberikan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto tidak mungkin menghilangkan hasrat oknum hakim perkaya diri dengan cara menjual pasal perundang-undangan.
“Kenaikan gaji adalah kebijakan pemerintah untuk mensejahterahkan profesi hakim agar kinerjanya meningkat. Nominal kenaikan sungguh signifikan, hampir tiga kali lipat. Pertanyaannya, apakah akan menghapus keinginan hakim nakal tak lagi korup? Jawabannya, nakal tetap nakal,” tegas advokat senior Prof. DR. Suhandi Cahaya, SH, MA, MBA kepada wartawan terkait kenaikan gaji dan moralitas hakim, Selasa (2/7/2025).
Ditambahkan, sebaiknya kenaikan itu diperuntukan bagi hakim yang kinerjanya baik, tidak pernah cacat sekecil apapun selama menjalani profesinya. Justru buat hakim yang terbukti kenakalannya, sanksinya hukuman berat, dan dirampas seluruh kekayaan yang didapat dari hasil gratifikasi.
“Secara pribadi, saya berharap hakim nakal itu di hukum mati, tapi bukan cara di eksekusi fisik seperti di tembak, melainkan dipenjara sampai wafat. Kayaknya itu lebih tepat buat hakim dan pejabat korup di negeri ini,” saran ahli hukum yang juga guru besar di beberapa perguruan tinggi dalam dan luar negeri.
Kenapa disarankan seperti itu? Menurut Prof. Suhandi, kejahatan oknum hakim sudah menjadi rahasia umum bukan hanya di dalam negeri, tapi di seluruh jagat raya. Hakim di negeri ini terkenal korupnya. Malah ada beranggapan Indonesia bukan negara hukum, tidak ada hukum di Indonesia.
“Anggapan itu saya dapat dari pengemudi bus umum di Swiss, ketika saya ke negara itu. Dia yang pernah beberapa kali ke Bali, berceloteh kepada saya ther is no law in Indonesia, tidak ada hukum di Indonesia. Yang awam hukum di Swiss saja menyatakan begitu, apalagi para ahli hukumnya. Sangat memprihatinkan sekali kondisi hukum di sini bagi masyarakat internasional. Mau tidak mau, ya, harus diperbaiki secara serius, harus ada sikap, bukan cuma sekedar omong-omong saja,” ujarnya.
Guru besar ini mencontoh berhasilnya perbaikan kondisi hukum di Meksiko yang pernah dilakukan pada tahun 2000 silam. Negara yang semula tatanan hukumnya amburadul, berubah drastis menjadi negeri dengan rakyat yang taat hukum.
“Selama beberapa tahun penegakan hukum dilakukan pemerintah Meksiko. Berhasil, memang. Kini, masyarakat dan pejabat pemerintahan di sana sedikit sekali melakukan pelanggaran hukum. Hakim pun sudah tidak lagi nakal,” ungkap Prof. Suhandi.
Yang dilakukan pemerintah Meksiko, lanjutnya, pertama kali adalah membersihkan lembaga peradilan. Khususnya kehakimannya. Lembaga itu melakukan pemangkasan secara total. Seluruh hakim diganti dengan cara merekrut yang jujur, bermoral baik, dan lebih khusus dari kalangan akademisi berpengalaman.
“Meksiko berhasil dengan pemangkasan lembaga peradilannya. Kenapa Indonesia tidak melakukan hal itu? Harus bisa. Lembaga kehakiman mesti dipangkas individunya, dari bawah hingga atas. Jangan ada toleransi dan tebang pilih. Mesti bedol desa,” saran Prof. Suhandi.
Diingatkan, jika hal itu tak dilakukan di seluruh jajaran lembaga hukum, bukan hanya di kehakiman saja, jangan harap kondisi hukum di Indonesia bersih dari perbuatan kurang terpuji. Kejahatan gratifikasi dan korupsi akan terus dilakukan oleh mereka yang justru mengerti hukum.
“Kenaikan gaji hakim positif, memang. Diharapkan dapat menekan hakim untuk tidak berbuat nakal dalam menjalankan tugasnya. Namun akan menjadi sia-sia jika tidak diimbangi dengan pengawasan ketat, dan sanksi hukum berat buat hakim pelanggar hukum,” ujarnya lebih jauh.
Lanjutnya, banyak yang beranggapan, bahwa perbuatan kurang terpuji di kalangan hakim lantaran kesejahteraannya tidak diperhatikan serius oleh pemerintah. Itu sebabnya, pada pemerintahan Prabowo melahirkan kebijakan menaikan gaji sebagai upaya mensejahterakan hakim dan keluarganya.
“Pada pemerintahan sebelumnya, kesejahteraan hakim memang tidak mendapat perhatian serius. Kenaikan gaji hanya beberapa persen saja. Dengan kenaikan 280 persen sekarang ini, merupakan harapan yang dinanti-nanti para hakim selama ini. Kenaikan itu tentunya akan meningkatkan kehidupan para hakim dan keluarganya. Sudah semestinya hakim tak lagi melakukan suap, dan tergiur iming-iming dari pihak lain untuk berlaku tidak adil dalam memutus perkara,” pungkas Prof. Suhandi (Yud/HSE).