Tutup Menu

Advokat Alfin Suherman: “Kepolisian Harus di Reformasi Total”

Sabtu, 18 Oktober 2025 | Dilihat: 299 Kali
Advokat senior Alfin Suherman, SH, M.Hum: Lembaga Kepolisian RI Harus Direformasi, Citranya Sudah Terpuruk Hingga Titik Nadir Terendah (foto dok.)
    
JAKARTA, tabloidskandal.com – Akibat ulah segelintir oknum polisi, mulai dari Tamtama hingga Perwira, citra institusi Kepolisian RI (Polri) kian terpuruk hingga titik nadir terendah. Tindakan kurang terpuji, baik dilakukan secara internal maupun terhadap masyarakat pencari keadilan, sudah menjadi rahasia umum dan dianggap tidak sesuai dengan amanah Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian (UU Kepolisian).

Menurut Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), pihaknya mencatat tindakan kurang terpuji dan sikap arogansi oknum polisi pada 2023 ada sebanyak 1.150 kejadian, kemudian hingga awal 2025 menjadi 1.364 kasus. Catatan tersebut berdasarkan laporan atau keluhan masyarakat terkait kinerja Kepolisian. Keluhan mayoritas adalah buruknya pelayanan, dan penyalahgunaan wewenang/kekuasaan Kepolisian.

Tindakan kurang terpuji dan sikap arogansi sebagian besar oknum polisi, dinilai bertolak belakang dari keinginan Presiden ke 4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ketika memisahkan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dari lambaga Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 1 April 1999. Tujuannya,
menjadikan Polri profesional, independen, pelayan masyarakat, dan bukan alat kekuasaan yang menindas.

Tujuan pemisahan tersebut, Gus Dur berharap Kepolisian melakukan penegakan supremasi sipil dan membedakan fungsi pertahanan dengan fungsi keamanan. Bertanggung jawab langsung kepada presiden, sebagai lembaga mandiri, dan bukan lagi di bawah bayang-bayang TNI. Dan tidak lagi satu komando dengan militer. Hal ini sejalan dengan keinginan reformasi 1998 di Indonesia pasca era Presiden Soeharto, atau Orde Baru.

Namun faktanya, sejalan dengan waktu, kini oknum polisi malah menodai keinginan Gus Dur dengan berulah melakukan tindakan kurang terpuji dan arogan. Oknum tersebut seolah-olah menjadikan lembaga Polri alat kekuasaan dan pengusaha, serta sewenang-wenang terhadap masyarakat sipil.
 
Tentu saja hal itu membuat resah masyarakat, di mana akhirnya berujung  pada tantutan agar institusi Polri di reformasi. Sebagaimana yang disampaikan ribuan massa mahasiswa yang tergabung pada Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM-SI) ketika menggelar aksi demo di Jakarta pada 17 Pebruari 2025. Dalam orasinya mendesak pemerintahan Presiden Prabowo melakukan reformasi Kepolisian secara menyeluruh untuk menghilangkan budaya represif dan meningkatkan profesionalisme.

Mungkin pemerintahan Presiden Prabowo masih belum serius memikirkan agenda reformasi di tubuh Polri, sehingga tuntutan itu belum menjadi agenda serius. Namun, pasca peristiwa tewasnya pengemudi ojek online Affan Kurniawan di gilas mobil pengamanan huru-hara Polri pada aksi demo massa di Jakarta pada 25-28 Agustus 2025, yang berdampak aksi demo yang semula damai jadi anarkis secara nasional, dan mendesak Presiden Prabowo mereformasi Polri.

Desakan itu akhirnya diaminkan pemerintah, di mana kemudian Presiden Prabowo pun berencana membuat agenda reformasi Polri dengan dibentuknya Komite Reformasi Kepolisian (KRK) yang akan diisi Sembilan tokoh nasional. Bukan hanya presiden, Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo sudah terlebih dahulu membentuk Tim Transformasi Reformasi Polri yang beranggotakan 52 perwira Polri.

Pertanyaannya, apakah rencana mereformasi Polri oleh Presiden Prabowo hanya sekedar retorika untuk meredam amarah masyarakat, atau memang sudah jadi agenda serius yang harus direalisasikan? Guna membedah masalah Kepolisian terkait ulah oknumnya, pakar hukum sekaligus advokat senior Alfin Suherman, SH, M.Hum memaparkan kepada wartawan baru-baru ini.

Menurut Alfin Suherman, Polri sejak dipisah oleh Gus Dur dari TNI pada 1999 citranya memang kurang baik, hal itu akibat perbuatan segelintir anggotanya. Yang semula diharapkan independen, profesional, pengayom dan dicintai masyarakat, justru malah menjadi kekuatan menakutkan.
 
“Seperti diketahui, bahwa praktik gratifikasi, koruptif, pemerasan, membekingi atau sebagai alat pengusaha dan kekuatan politik, kekerasan (kriminal) dan pelanggaran HAM adalah budaya kurang terpuji yang kerap diperlihatkan oleh oknum Polri, dan sudah menjadi rahasia umum. Tidak aneh lagi,” ungkap Alfin.

Perlakuan kurang terpuji para oknum polisi, lanjutnya, menjadi catatan panjang Kompolnas dalam sepuluh tahun belakangan ini. Khususnya laporan atau keluhan masyarakat terkait kesewenangan dan arogansi aparat hukum tersebut.

“Pelayanan buruk mendominasi keluhan masyarakat. Di antaranya, penanganan perkara (justice delay) dinilai lambat , bahkan ada anggapan dilambat-lambatkan, sehingga kemudian pihak pencari keadilan (pelapor) jadi lambat memperoleh kepastian hukum,” jelasnya.

Dikatakan Alfin, bahwa yang terjadi sejauh ini adalah progres laporan masyarakat  tidak ada perubahan, tidak ada kemajuan dari penyidikan atau penyelidikan. Bahkan tak jarang terkatung-katung, tidak ada kejelasan.

Untuk itu, lanjutnya, masyarakat menaruh harapan kepada Presiden Prabowo agar mereformasi Kepolisian secara substansial. Dengan begitu, kepercayaan publik kembali tumbuh, pemulihan di lingkungan lembaga Polri, investor merasa aman, dan yang terpenting tidak ada lagi kooptasi politik yang berujung perkuat kekuasaan, atau kelompok partai tertentu. Seharusnya segera mungkin presiden mewujudkan terbentuknya Komite Reformasi Kepolisian untuk mengambil langkah pembenahan di tubuh Polri.

Di bagian lain Alfin mengimbau masyarakat, hendaknya rencana presiden tersebut mesti diapresiasi dan didorong agar menjadikan polisi sebagai aparat sipil yang netral dan profesional, sejalan dengan tuntutan reformasi 1998.

Ditambahkan, reformasi atau pembenahan terhadap Polri memang perlu dilakukan untuk penguatan institusi dari anggapan miring masyarakat selama ini. Selain itu, juga merupakan penerapan stabilitas hukum, dan kebutuhan demokrasi.

 “Reformasi jangan hanya pada lembaganya saja, tetapi juga harus dimulai pada saat  pendidikan di Kepolisian. Di mana harus di tanamkan nilai-nilai luhur, moral dan etika sejak awal pembentukan karakter seorang polisi yang jujur dan humanis,” urai Alfin.

Dia juga menegaskan, begitu pula dengan proses rekrutmen di institusi Kepolisian yang harus transparan dan akuntabel. Dengan adanya reformasi di tubuh Kepolisian,  diharapkan dapat segera mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap citra buruk Kepolisian selama ini.

“Peran Kepolisian dalam masyarakat tidak hanya berfungsi sebagai Kamtibmas dan penegakan hukum saja, melainkan juga sebagai penyayom dan pelayanan kepada masyarakat. Jika melihat kondisi yang memprihatinkan, suka atau tidak suka Polri harus direformasi total,” pungkas Alfin. (HSE)
 

Dapatkan Info Teraktual dengan mengikuti Sosial Media TabloidSkandal.com