Oleh Alexius Tantrajaya, SH, M.Hum – Praktisi Hukum
PASCA Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) terpecah di Makasar pada 27 Maret 2015, disusul terbitnya Surat Keputusan Mahkamah Agung (SK MA) No. 73/KMA/HK.01/2015 tanggal 25 September 2015 tentang Penyumpahan Advokat, berdampak pada munculnya organisasi advokat (OA) baru.
Dalam hitungan 7 tahun saja, dari 2015 hingga 2022, tercatat sudah terdaftar 50 OA di seluruh negeri ini. Jumlah yang begitu fantastis, dengan perkiraan sekitar tujuh OA baru lahir setiap tahunnya. Tidak tertutup kemungkinan akan terus bertambah.
Masalah OA terpecah, bukan hal baru dan aneh di negeri ini. Sudah biasa. Namun, sepertinya, setiap OA, sebagian besar usianya tak sampai dua dasawarsa. Dipastikan terjadi perpecahan, lantaran perdebatan sengit antar pengurus atau antar anggota (internal). Pemicunya, bisa karena tidak transparan pengelolaan keuangan, pemilihan ketua umum tak demokrasi, serta pengurus yang tak mau diganti. Jika sudah begitu, ujungnya, di antara mereka dipastikan hengkang, lalu mendirikan OA baru.
Contohnya OA pertama, Persatuan Advokat Indonesia (Peradin), perubahan nama dari Persatuan Advokat Indonesia (PAI) pada 30 Agustus 1964, usianya hanya 13 tahun. Di mana pengurus dan anggotanya saling debat, masing-masing tak mau legowo atas suatu persoalan. Dan akhirnya, pada 1977 konflik Peradin merupakan catatan sejarah pertama terpecahnya OA di negeri ini.
Sebagian dari pengurus dan anggota Peradin yang bersiteru, mundur dan membentuk organisasi baru Himpunan Penasehat Hukum Indonesia (HIPHI). Organisasi inipun tak bertahan lama, terpecah dan beranak pinak menjadi tiga organisasi, Sementara Peradin sendiri, hingga detik ini nasibnya tak jelas, belum dibubarkan dan tidak membubarkan diri.
Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) yang didirirkan pada 10 Nevember 1985, juga terpecah. Peristiwa terjadi ketika OA ini menggelar Musyawarah Nasional (Munas) di Hotel Horison Ancol Jakarta Utara. Penyebabnya adalah, proses pemilihan ketua umum periode 1990-1994, dinilai menyalahi Anggaran Dasar Ikadin.
Seperti diketahui, di tengah-tengah acara Munas Ikadin yang memanas, sekitar tiga ratusan anggota OA itu menyatakan keluar dari Ikadin. Dan intiklimaksnya, pada hari itu juga, tepatnya tanggal 27 Juli 1990, mereka kemudian mendirikan organisasi baru dinamai Asosiasi Advokat Indonesia (AAI). Di periode awal, 1990-1995, warga AAI yang hengkang dari Ikadin memilih almarhum Gani Djemat selaku ketua umum, serta Yan Apul Girsang dan Denny Kailimang ditunjuk sebagai wakil ketua umum dan sekretaris jenderal.
Dari catatan sejarah OA di negeri ini, AAI terbilang organisasi yang cukup solid dibandingkan lainnya. Bayangkan, selama 32 tahun berkiprah, atau sejak kepemimpinan almarhum Gani Djemat, baru terjadi perpecahan pasca era Muhammad Ismak menjabat Ketua Umum AAI (2015-2020). Di mana OA ini memiliki tiga ketua umum untuk masa periode 2022-2027, yaitu: Palmer Situmorang (hasil Munas ke VI Bandung) dan Arman Hanis (hasil Munas ke VI Makassar), dan Ranto Simanjuntak (versi Munaslub). Pecah tiga ini versi kedua setelah kasus Peradi.
Peradi Wadah Tunggal
Seperti diketahui, Peradi yang menjadi wadah tunggal advokat di Indonesia, sebagaimana diamanahkan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat), keutuhannya pun hanya 12 tahun. Kurang dari dua dekade. Terbentuk 2003, dan berantakan tahun 2015.
Lebih memprihatinkan lagi, tidak kepalang tanggung, OA wadah tunggal ini terpecah tiga. Sepertinya, ini kejadian pertama di Indonesia, atau bisa mungkin di dunia, organisasi profesi pecah tiga dengan masing-masing menggunakan nama sama: Peradi. Yakni Peradi versi Otto Hasibuan, Peradi SAI (Suara Advokat Indonesia/Juniver Girsang) dan Peradi RAB (Rumah Advokat Bersama/Luhut MP Pangaribuan). Suatu kenyataan yang sangat memilukan bagi kalangan advokat di negeri ini.
Terpecah, wajar-wajar saja, karena memang sejarah awalnya begitu. Akan tetapi, sebaiknya yang terpecah janganlah menggunakan embel-embel Peradi setelah membentuk OA baru. Bukannya tak boleh, boleh-boleh saja, namun tiga nama kembar itu bikin bingung advokat muda, meski di belakang ada tambahan nama lain. Sepertinya, dengan embel-embel itu, terkesan pemaksaan.
Seharusnya belajar dari almarhum Indra Sanun Lubis, pasca hengkang dari Peradi, kemudian membuat OA baru tanpa menggunakan embel-embel Peradi. Dia bersama ratusan anggota Peradi yang tak cocok dengan kepemimpinan Otto Hasibuan ketika itu, lebih memilih nama Kongres Advokat Indonesia (KAI) ketimbang Peradi. Padahal, sebelum dia menyatakan ke luar, jabatannya adalah Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Peradi. KAI sendiri didirikan pada 30 Mei 2008, atau lima tahun setelah Peradi terbentuk.
Jika menyimak catatan sejarah Peradi, faktanya OA tersebut mengalami dua kali gonjang-ganjing. Pertama pada 2008, di mana ratusan anggotanya membelot dan membuat KAI bersama almarhum Indra Sanun Lubis. Ke dua, konflik terpecah tiga pada 2015, yang juga memicu keinginan terbentuknya single bar dan multi bar di kalangan advokat.
Ternyata, lahirnya kembar tiga Peradi, menjadikan staknannya kegiatan OA wadah tunggal tersebut, serta bikin pusing Mahkamah Agung (MA) mengingat ribuan calon advokat di seluruh Indonesia terhambat diambil sumpah dan dilantik. Akhirnya, mau tidak mau, suka atau tidak suka, Ketua MA ketika itu Dr. Hatta Ali, menerbitkan Surat Keputusan Mahkamah Agung (SK MA) No. 73/KMA/HK.01/2015 tanggal 25 September 2015 tentang Penyumpahan Advokat.
Initinya, SK MA No. 73/2015 tersebut memenuhi ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU Advokat, yaitu sebelum menjalankan profesi, advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya.
Puluhan OA Baru
Di awal tulisan ini disebutkan, setelah Peradi terpecah tiga dan kemudian disusul terbitnya SK MA No. 73/2015, berdampak munculnya puluhan OA baru di seluruh negeri ini. Dengan adanya SK MA itu, OA yang baru tak lagi ketergantungan dengan Peradi untuk mengajukan penyumpahan terhadap calon advokatnya kepada pengadilan tinggi setempat, serta dapat melakukan pelantikan tanpa pula menunggu agenda acara Peradi.
Faktanya, memang begitu. Dan sejarah pun mencatat, dengan terbitnya SK MA No.73/2015 tersebut, maka SK MA No. 089/KMA/VI/2010 tanggal 25 Juni 2010 tentang Penyumpahan Advokat, dan SK No.052/KMA/HK.01/III/0211 tanggal 23 Maret 2011 tentang Penjelasan SK MA No. 089/KMA/VI/2010 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Seperti disebutkan, bahwa ketentuan di dalam SK MA No. 089/KMA/VI/2010 pada pokoknya Ketua Pengadilan Tinggi berwenang mengambil sumpah para calon advokat yang diajukan oleh pengurus Peradi, sebagaimana kesepakatan tanggal 24 Juni 2010.
Tapi ternyata, kesepakatan tersebut tidak dapat diwujudkan sepenuhnya, mengingat Peradi sebagai wadah tunggal terpecah, di mana masing-masing pengurusnya mengklaim sebagai OA yang sah, sesuai ketentuan UU Advokat. Sementara belasan pengurus OA yang mengajukan permohonan pengambilan sumpah bagi calon advokatnya, tak bisa berbuat banyak karena Pengadilan Tinggi juga tidak dapat melaksanakan kewenangannya.
Mengingat keberadaan advokat di banyak wilayah di negeri ini sangat dibutuhkan, khususnya bagi masyarakat pencari keadilan, hal itu pula yang mendorong Ketua MA Dr. Hatta Ali menerbitkan SK MA No. 73/2015. Dan akhirnya, kebijakan itu bak membuka kran air. Tujuh tahun sejak Peradi terpecah, dan SK MA itu terbit, jumlah OA mencapai 50 organisasi.
Tidak tertutup kemungkinan jumlah akan terus bertambah, sejalan masih adanya ambisi seseorang yang ingin menjadi ketua (tak mau diganti), serta modus tidak transparannya pengelolaan keuangan, serta pemilihan ketua umum dianggap tidak demokrasi.
Lantas, pertanyaannya, di tengah bermunculan puluhan OA, apakah sistem yang dianut advokat Indonesia singe bar atau multi bar? Dan apakah jika tiga Peradi kembali bersatu mampu menyatukan OA? (Editor: H. SinanoEsha)