Jakarta, Tabloidskandal.com – Meskipun bagian dari penyidikan suatu kasus pidana, tak jarang terlapor maupun saksi bersedia memenuhi Undangan Klarifikasi polisi. Berkali-kali diundang, dan berkali-kali pula tak datang tanpa alasan yang jelas. Polisi pun tidak bisa berbuat banyak, misalnya memaksa agar datang ke kantor polisi untuk di klarifikasi atas sangkaan pelapor terhadap terlapor. Ini karena tak diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan tak ada sanksi hukum bagi yang mangkir.
Begitu juga di dalam Surat Peraturan Kepala Kepolisian No. 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, tidak ada tertulis atau keterangan tentang Undangan Klarifikasi, yang ada panggilan terhadap terlapor, pelapor, saksi dan saksi ahli.
Lantas, untuk apa kepolisian berinisiatif menerapkan Undangan Klarifikasi pada proses penyidikan suatu perkara pidana, jika kenyataannya tak diatur di dalam KUHAP maupun Surat Peraturan Kepala Kepolisian? Bukankah hal ini kurang efektif jika dibandingkan dengan panggilan resmi baik terhadap terlapor maupun para saksi. Apalagi pada praktiknya yang diundang tak hadir
Secara hukum, apakah dapat dibenarkan penerapan Undangan Klarifikasi yang dilakukan pihak Kepolisian terhadap suatu perkara pidana?
Pakar hukum pidana, Prof. DR Suhandi Cahaya, SH,MH, MBA, membenarkan bahwa Undangan Klarifikasi tidak diatur di dalam ketentuan KUHAP. Yang ada adalah panggilan untuk tersangka, saksi dan ahli terkait dengan sangkaan pelapor.
“Karena itu, secara hukum tidak dapat dibenarkan. Tindakan di luar hukum seperti itu, kalau boleh dikatakan, azas coba-coba saja. Dugaan saya, jika berhasil, akan muncul cruelty by order, atau pesanan tebang pilih. Dan sepertinya hal itu terjadi di seluruh negeri ini,” papar advokat senior yang juga dosen di beberapa perguruan tinggi dalam keterangan tertulis kepada Tabloidskandal.com,
baru-baru ini.
Ditambahkan, adanya “permainan hukum” yang dilakukan oknum polisi terjadi pula di beberapa kasus yang pernah dibelanya. “Paling banyak ketika saya masih berkantor di Palembang. Juga terjadi di Surabaya, Bali, dan bahkan di Jakarta,” ungkap Prof. Suhandi Cahaya.
Menurut ahli hukum pidana ini, perkembangan hukum di Indonesia masih jauh dari harapan masyarakat pencari keadilan. Dia mengistilahkan, “from bad become worse”, dari yang buruk ke yang paling jelek.
“Faktanya, memang seperti itu. That is absolutely correct. Sebagai ilmuwan, saya sedih sekaligus prihatin atas kondisi hukum di negeri ini. Kecewa berat,” gumamnya.
Lebih jauh advokat yang banyak menangani kasus hukum ini menjelaskan, ketika dia mengajar di Pertual University, Philipina, sebagian besar mahasiswa kritis dalam menerima setiap mata pelajaran. Banyak bertanya.
“Berbanding terbalik dengan mahasiswa saya di sini (Indonesia), sedikit bertanya tapi ketika ujian “minta diluluskan” dengan nilai cumlaude. Ini kan memalukan, dan nggak tahu malu. Ya, seperti itulah kondisinya,” ungkapnya penuh keprihatinan.
Diremehkan
Lantaran tidak tertuang di dalam ketentuan KUHAP, serta tak ada sanksi hukumnya, Maka Undangan Klarifikasi yang di terbitkan polisi, kadang diabaikan oleh terlapor maupun saksi kasus pidana. Tidak bersedia hadir sebagaimana undangan tertulis dari Kepolisian.
“Namanyakan undangan, ajakan, bukan panggilan. Wajar jika seseorang tak memenuhi undangan, meremehkannya meskipun yang mengundang polisi. Karena nggak ada sanksi hukum, akhirnya diremehkan oleh terlapor maupun saksi. Beda dengan panggilan resmi, jika tiga kali tak datang, polisi bisa memanggil secara paksa terlapor pidana,” ujar Rene Putra Tantrajaya SH, LLM, advokat muda jebolan Strata Dua Leeds Beckett University, United Kingdom (Inggris), jurusan International Business Law (2014 – 2015).
Dijelaskan Rene, berkaitan dengan Undangan Klarifikasi polisi, saat ini tengah dialami kliennya, Hanadi Wirawardhana. Baik terlapor, Christoforus Suhadi, maupun tiga saksi yang mengetahui dugaan penggelapan, di antaranya: Lim Kwang Yauw, Ferdhy S, Suryadi Suwandinata dan Sutjiadi Wirawardhana diketahui diduga telah mengabaikan Undangan Klarifikasi.
“Berdasarkan SP2HP (Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan) tertanggal 20 Mei 2021dikatakan, bahwa tiga saksi tersebut tak pernah datang tanpa alasan yang jelas. Padahal polisi sudah dua kali mengundang mereka. Untuk terlapor, kami belum mengetahui secara persis, apakah memenuhi undangan atau bersikap sama, tak datang ke Polda Metro Jaya,” kata advokat yang
bergabung pada Kantor Hukum Henry Wijaya & Partner.
Menurut dia, kasusnya sendiri sudah setahun berjalan, namun sejauh ini belum ada tanda-tanda pihak Polda Metro Jaya memproses laporan Hanadi Wirawardhana. “Klien kami melapor adanya dugaan penggelapan warisan almarhum dokter Denianto Wirawardhana. Pak Hanadi melapor ke polisi pada 3 Agustus 2020, dengan No. LP/45/20/VII/Yan.2.5/2020?SPKT PMJ,” ungkap Rene.
Di bagian lain advokat muda ini berharap agar pihak Polda Metro Jaya melanjutkan laporan kliennya ke level berikutnya, dan lanjut ke pengadilan. Sekalipun Undangan Klarifikasi diabaikan, bukan berarti kasusnya mandeg. Proses hukum harus terus berlanjut.
“Klien kami punya bukti permulaan yang cukup. Artinya, atas dasar laporan Pak Hanadi polisi mestinya bisa memanggil terlapor dan para saksi, kemudian melakukan gelar perkara,” kata Rene penuh harap.
Gelar Perkara
Berkaitan dengan tak hadirnya para pihak pada agenda Undangan Klarifikasi polisi dalam kasus tindak pidana, sementara pelapor punya bukti valid secara hukum, kalau menurut advokat senior Sugeng Teguh Santoso, SH, kasusnya harus dilakukan gelar perkara untuk menaikan statusnya ke penyidikan.
“Jika tidak dilakukan, maka penyidik diduga melanggar kode etik,” kata Sugeng secara tertulis, menjawab pertanyaan Tabloidskandal.com. Saat ini dia menjabat pelaksana tugas (Plt) Ketua Presedium Indonesia Police Watch (IPW) menggantikan Neta S Pane yang meninggal dunia pada 16 Juni 2021.
Ditambahkan, jika polisi punya bukti cukup, klarifikasi hanya untuk memenuhi prosedur PERKAP saja. “Sekalipun para pihak yang diundang diagenda klarifikasi tidak datang, namun kasus tetap bisa dinaikkan statusnya ke penyidikan. Yang jadi persoalan, jika polisi tak memiliki cukup bukti, sementara para pihak yang diundang tak datang, maka perkara menjadi macet,” paparnya lebih jauh.
Sebagai Ketua IPW Sugeng berpendapat, bahwa yang dimaksud klarifikasi atau permintaan keterangan non-projustitia yang diterapkan polisi, adalah tindakan awal dalam penegakan hukum. Sudah tepat, dan merupakan bagian dari proses penyelidikan.
“Penerapan klarifikasi oleh polisi, diharapkan tidak semua yang dilaporkan berujung di pengadilan. Misalnya, tidak cukup bukti permulaan, atau peristiwa yang dilaporkan ternyata bukan tindak pidana,” papar Sugeng yang juga kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Dengan diterapkannya karifikasi, lanjut dia, kepolisian telah melakukan efisiensi anggaran. Karena itu, meski hal ini tak ada di dalam ketentuan pasal di KUHAP, seyogianya mesti diapresiasi sebagai bagian dari proses penyelidikan.
Hal senada juga pernah diutarakan Brigjen Pol Argo Yuwono beberapa waktu, ketika masih menjabat Kabid Humas Polda Metro Jaya. Menurut dia, klarifikasi terkait dengan apa yang dituduhkan pelapor terhadap terlapor. Melalui agenda tersebut, polisi memberi ruang dan waktu bagi terlapor maupun saksi. Intinya, bisa menyangkal tuduhan pelapor atau mengakuinya.
“Melalui klarifikasi, penyidik akan menilai dan menganalisa apakah yang dituduhkan pelapor terhadap terlapor dapat dilanjutkan atau tidak. Jadi, dari klarifikasi terkait dengan yang dituduhkan, akan ditentukan selanjutnya oleh penyidik,” jelas perwira polisi bintang satu yang kini menjabat Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Mabes Polri.
(H. Sinano Esha)