Jumpa Pers Kapolri Jenderal Listyo S Prabowo - Advokat Alexius Tantrajaya
Penulis : H. Sinano Esha
JAKARTA –Tabloidskandal.com ll Sejak Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto menyatakan, pembunuh Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J dijerat Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), mendadak pasal itu jadi viral, masyarakat ingin tahu apa isinya.
Begitu juga dengan Pasal 338, Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP. Banyak yang penasaran dan bertanya, apakah pasal-pasal itu dapat menjerat Fredy Sambo, Putri Candrawati, Richard Eliezer (RE), Ricky Rizal (RR) dan Kuwat Maaruf, sebagai pembunuh yang diancam hukuman mati, seumur hidup atau 20 tahun penjara?
Tim Khusus (Timsus) bentukan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, pihak yang menyelidiki kematian Brigair J, berkeyakinan lima tersangka tersebut patut diduga melakukan pembunuhan berencana. Karena itu, mereka dikenakan pasal-pasal tersebut.
“FS (Fredy Sambo) menyuruh, dan membuat skenario peristiwa seolah-oleh terjadi tembak menembak di rumah dinas. Padahal tidak ada kejadian itu,” ungkap Komjen Agus Andrianto dalam jumpa pers di Mabes Polri, Selasa (9/8/2022).
Penjelasan Kabareskrim Polri tersebut mengisyaratkan, bahwa ada skenario pada peristiwa berdarah di rumah dinas Polri di Komplek Duren Tiga, Jakarta Selatan. Itu artinya, di balik tewasnya Brigadir J diduga direncanakan sebelumnya. Dan perencananya adalah Fredy Sambo.
Menurut pakar pidana, praktisi Alexius Tantrajaya, SH, M.Hum, dalam suatu kasus pidana tugas polisi atau penyidik adalah melakukan penyelidikan dan penyidikan. Hal ini amat penting bagi sistem peradilan pidana. Namun, di antaranya ada perbedaan.
“Di dalam Pasal 1 angka (5) KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) disebutkan, penyelidikan merupakan tindakan polisi untuk mengungkap suatu kejadian yang diduga sebagai tindak pidana,” kata advokat senior, seraya menambahkan apakah peristiwa kejadian itu dapat dilanjutkan pada tingkat penyidikan, Jumat malam (2/9/2022).
Adapun penyidikan, lanjut Alexius, di dalam Pasal 1 angka (2) KUHAP dikatakan, bahwa tindakan ini dilakukan polisi untuk mengumpulkan dan mencari bukti guna menjadikan terang tindak pidana yang terjadi guna diketahui tersangkanya.
“Hasil tindakan penyelidikan dan penyidikan menjadi dasar proses hukum pidana selanjutnya. Kejaksaan selaku jaksa penuntut umum (JPU), dapat menjadikan tersangka sebagai terdakwa, kemudian terpidana setelah hakim (pengadilan) menjatuhkan putusan,” paparnya.
Disebutkan Alexius, pada kasus pembunuhan berencana, seperti yang diduga dalam pembunuhan Brigadier J, baik JPU maupun hakim pada proses persidangan harus teliti dan cermat. Jangan sampai terjadi tindak pidana pembunuhan berencana, ternyata pembunuhan biasa.
Karena itu, lanjutnya, penyidik menentukan dua pasal pokok untuk kasus pembunuhan Brigadir J. Yaitu Pasal 340 KUHP yang isniya berbunyi: “Barang siapa sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama duapuluh tahun.”
“Dan Pasal 338 KUHP ditegaskan: “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.” Artinya, jika Pasal 340 KUHP tak terbukti, maka terdakwa dapat dijerat pasal pengganti yakni Pasal 338 KUHP. Tentunya, hukuman pidananya lebih ringan,” urai Alexius.
Sedangkan dua pasal penyertaan lainnya, jelas dia, yaitu Pasal 55 dan 56 KUHP. Berkaitan dengan keikutsertaan (deelneming) atas suatu kejahatan. Pasal 55, terkait pihak yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan tindak pidana dengan berbagai upaya bujuk rayu dan ancaman agar orang lain melakukan perbuatan. Dan Pasal 56, pihak yang memberi bantuan, kesempatan atau sarana untuk melakukan kejahatan.
Kualifikasi
Kasus pembunuhan (Pasal 338) dan pembunuhan berencana (Pasal 340), menurut advokat ini, bagian dari beberapa bentuk atau kualifikasi tindak pidana tersebut. Meski sama-sama menghilangkan nyawa orang lain, namun satu sama lain kejahatan ini ada perbedaan unsurnya. Khususnya terjadi pada diri pelaku sebelum melakukan tindak pidana kejahatan.
“Pembunuhan berencana dilakukan melalui perencanaan terlebih dahulu. Misalnya, pelaku memikirkan tindakan apa yang akan dilakukan sebelum membunuh. Umumnya si pelaku sebagai pembunuh keji, berdarah dingin, karena itu sanksi hukumnya jauh lebih berat,” tegas Alexius.
Sementara tindak pidana pembunuhan, tambahnya, dilakukan atau terjadi atas niatan membunuh secara spontanitas, tanpa perencanaan sebelumnya. Artinya, antara niat membunuh dan pelaksanannya dilakukan pada saat bersamaan.
“Hakim dalam mengadili untuk kasus terkait Pasal 338 dan Pasal 340 KUHP harus teliti dan cermat. Mulai dari bukti-bukti, keterangan para saksi dan terdakwa, serta unsur lainnya yang terungkap di persidangan. Jangan sampai, tindak pidana pembunuhan tapi divonis pembunuhan berencana, atau sebaliknya,” saran advokat anggota Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi).
Lantas, apakah para pembunuh Brigadir J dapat dijerat Pasal 340 atau Pasal 338? Menurut Alexius, jika menilik penjelasan Timsus Kapolri, bahwa pembunuhan itu disertai pula skenario untuk menghilangkan bukti-bukti kejahatan oleh para pelakunya, patut diduga ada perencanaan terlebih dahulu sebelum pelaksanaan pembunuhan.
“Kalau boleh saya simpulkan,itu adalah tindak pidana yang direncanakan oleh pelaku yang berkelompok. Semoga saja kesimpulan saya sama dengan pandangan hukum hakim yang mengadili,” pungkasnya.