Tutup Menu

Melegalkan Ganja, Merugikan Bangsa

Senin, 18 Juli 2022 | Dilihat: 543 Kali
    
Oleh   :  Alexius Tantrajaya, SH, MHum, Paraktisi Hukum
Editor : H. Sinano Esha

PADA Desember 2020 rekomendasi World Health Organization (WHO) berkaitan dengan melegalkan Cannabis Sativa, atau lebih dikenal ganja, untuk tujuan medis telah direstui PBB. Artinya, ganja yang semula dilarang karena dinilai jenis narkotika paling berbahaya, kemudian diperbolehkan menjadi obat alternatif. Secara resmi setiap orang diperbolehkan memanfaatkannya untuk tujuan pengobatan.

Sebelumnya, ada lima belas negara yang telah melegalkan penggunaan ganja untuk terapi, dan pengobatan medis. Di antaranya Belanda, Meksiko, Ekuador, Spanyol, Italia, Belgia, Chile, Amerika Serikat, Kanada, Israel, Jerman, Peru, Uruguay, dan Siprus.


Menyusul pada 25 Januari 2022 Thailand sebagai negara ke 16 yang menghapus ganja dari jenis narkotika terlarang. Dan menjadi negara pertama di kawasan Asia yang melegalkan Cannabis Sativa untuk tujuan medis dan penelitian. Bahkan warga negeri gajah putih itu diperbolehkan menanam ganja di halaman rumah, asal melapor kepada pemerintah setempat.

Bagaimana dengan Indonesia? Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika), ganja salah satu jenis narkotika yang masih dilarang penggunaannya baik sebagai obat, maupun terapi.

Dalam UU tersebut, ganja termasuk narkotika golongan I yang dilarang penggunaannya untuk kepentingan kesehatan, sebagaimana diatur pada Pasal 8 UU Narkotika. Akan tetapi, pada bagian Menimbang huruf “C”, disebutkan boleh digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Meski secara regulasi ada pengakuan pada bagian Menimbang huruf “C”, namun keberadaan ganja tetap diharamkan di Indonesia. Di laman Badan Narkotika Nasional (BNN) disebutkan, ganja membahayakan bagi kesehatan, jika digunakan secara tidak tepat. Selain kecanduan, juga dapat menimbulkan rasa cemas dan kerusakan otak.

Disebutkan juga, di dalam tanaman Cannabis Sativa tersebut terkandung narkotika, dan juga memiliki zat aktif tetrahidrocanabinol (THC) dan phytocannabinoid cannabidiol (CBD), serta 650 zat kimia lainnya. Seperti diketahui, penggunaan THC menimbulkan efek eforia, atau sifat kesenangan tanpa sebab untuk jangka waktu lama, dan berakibat akan menimbulkan kecanduan bagi penggunanya.

Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, pada 2015 menerbitkan Surat Keputusan (SK) tentang Izin Penelitian Menggunakan Cannabis, yang tertuang pada surat No. LB.02.01/III.03/885/2015 yang ditandatangani Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.


Akan tetapi, sejauh ini, masih belum dilaksanakan penelitian dan pengembangan tanaman Cannabis Sativa untuk kesehatan. Menurut Menteri kesehatan ketika itu, Nilla Moeloek, kenapa belum direalisasikan penelitian, mengingat biaya  sangat besar serta banyak hal lain yang harus dikembangkan. Karena itu, sampai sekarang, SK tentang Izin Penelitian Menggunakan Cannabis tersebut belum juga dikerjakan.

Meski ganja diharamkan, ternyata ada saja warga mencoba membuat ekstrak tanaman Cannabis Sativa. Misalnya, P Ridanto Busono Raharjo dan Fidelis Ari Sudarwoto. Mereka membuat minyak ganja untuk meredakan rasa nyeri akibat Neuropatik kronis, dan pengobatan penyakit Syringomyelia.

Malangnya, sebelum penyakit Neuropatik yang diderita Ridanto sembuh, aparat terlebih dahulu menangkapnya, dan pengadilan menjatuhkan hukuman. Begitu juga dengan Fidelis, pegawai negeri provinsi Kalimantan Barat ini belum berhasil menyembuhkan penyakit Syringomylia istrinya dengan ekstrak ganja, namun ia keburu dihukum penjara. Mereka dinyatakan bersalah melanggar UU Narkotika.

Uji Materi UU Narkotika

Belajar dari dua pengguna ekstra ganja bernasib sial itu, Santi Warastuti yang juga membutuhkan ekstra ganja, phytocannabinoid cannabidiol (CBD), tak ingin dipenjara meski putrinya, Pika, sangat membutuhkannya lantaran penyakit Cerebral Palsy yang dideritanya. Dia lebih memilih jalur hukum, yakni mengajukan uji materi UU Narkotika ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Uji Materi yang diajukan pada November 2020 tidak dilakukannya sendiri, melainkan bersama beberapa orangtua yang anaknya mengindap Cerebral Palsy, dan juga keterlibatan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Tujuannya agar ganja dapat digunakan untuk kepentingan penelitian dan pelayanan kesehatan (terapi). Apalagi sejauh ini, jumlah penderita penyakit itu di Indonesia mencapai 5.000 orang lebih.

Guna mencari dukungan dan giat upaya menyentuh rasa kemanusian masyarakat, Santi Warastuti bersama Pika yang duduk lemas di kursi roda, melibatkan diri di acara car free day di Bundaran HI, Jakarta Pusat, baru-baru ini. Ibu muda itu memegang papan tertulisan “Tolong, Anakku Butuh Ganja Medis”.


Santi dan para pasien Cerebral Palsy, Neuropatik, Syringomyelia dan penyakit lain yang penderitaannya dapat diringkan oleh ekstrak ganja, berharap MK menyatakan dalam putusannya mengabulkan uji materi yang diajukan. Dan Indonesia melegalkan Cannabis Sativa sebagai tanaman yang dapat digunakan secara medis, seperti 16 negara yang sudah lebih dulu, serta restu PBB atasrekomendasi WHO terkait ganja.

Apakah MK dalam putusannya akan mengabulkan uji materi UU Narkotika yang diajukan Santi Warastuti dan lainnya? Lantas, apakah UU Narkotika bertentangan dengan konstitusi, sehingga harus direvisi untuk kepentingan medis?

Rasanya sangat susah MK menyatakan UU Narkotika bertentangan dengan konstitusi, dan perlu perbaikan demi kemaslahatan kesehatan umat manusia. Justru malah sebaliknya, manfaat ekstrak ganja tak sebanding dengan akibat yang ditimbulkan. Khususnya bagi kesehatan generasi muda, mengingat banyak sekali pelanggaran yang terjadi di negeri ini.

Sekalipun pada Pasal 8 ayat (2) UU Narkotika menyatakan narkotika golongan I (ganja) dalam jumlah terbatas dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengatahuan dan teknologi, serta reagensia diagnotik dan reagensia laboratorium. Begitu juga bunyi pada bagian Menimbang huruf “C”, namun perlu juga dipikirkan bahwa seyogianya dapat menimbulkan ketergantungan jika digunakan tanpa kontrol dan pengawasan ketat.

Seketat apapun pengawasan pemerintah, dipastikan terjadi pelanggaran ketika ekstrak ganja dilegalkan, mengingat penjualannya bersifat umum. Terlebih lagi Indonesia merupakan pasar potensi bagi perdagangan narkotika. Karena itu, melegalkan narkotika golongan I akan menimbulkan kerugian besar bagi bangsa ini. 
 

Dapatkan Info Teraktual dengan mengikuti Sosial Media TabloidSkandal.com