Tutup Menu

Kasus Adu Tembak, Kepemilikan Senpi Polisi Harus Diperketat

Sabtu, 23 Juli 2022 | Dilihat: 752 Kali
Ilustrasi (foto istimewa)
    
Oleh Stefanus Gunawan, SH, M.Hum – Advokat
Editor : H. Sinano Esha


AKHIRNYA jabatan Irjen Pol. Ferdy Sambo sebagai Kepala Devisi Profesi Pengamanan (Kadiv Propam) Polri dinonaktifkan oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Senin (18/7/2022). Hal itu dilakukan guna menjaga objektivitas, transparansi dan akuntabel agar proses penyidikan tewasnya Brigadir Yoshua Hutabarat alias Brigadir J berjalan dengan baik

Rentang waktu antara penonaktifkan dengan peristiwa adu tembak dua anggota polisi: Brigarir J dan Bharada E, di rumah dinas Irjen Ferdy Sambo di kawasan Duren Sawit, Jakarta Timur, memang cukup jauh. Yakni 10 hari. Tragedi berdarah terjadi pada tanggal 8 Juli 2022, sementara pencopotan jabatan 18 Juli 2022.

Muncul pertanyaan, kenapa Kapolri Sigit tak sertamerta mencopot jabatan Ferdy Sambo, mengingat awal kejadian berdarah itu diduga ada keterlibatan istri mantan Kadiv Propam Polri tersebut, dan aksi koboi terjadi di rumah dinasnya?

Sebenarnya, bisa saja Kapolri melakukan pencopotan secara sertamerta. Tapi, sepertinya ada pertimbangan bersifat prinsipil, dan tak ingin grasak-grusuk. Apalagi jabatan itu sendiri sangat strategis. Mencopotnya, tak semudah membalikan telapak tangan. Lebih dari itu, demi keadilan, Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo mendahulukan dibentuknya tim khusus (gabungan) untuk penyelidikan adu tembak ketimbang urusan copot mencopot.


Bahkan untuk urusan proses hukumnya pun kini ditangani Polda Metro Jaya, di bawah komando Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Dr Drs H Mohammad Fadil Imran, M.Si, setelah ditarik dari penanganan sebelumnya oleh Polres Jakarta Selatan.

Tulisan ini bukan mengupas masalah proses hukum tewasnya Brigaird J, lambannya tindakan Kapolri menonaktifkan Ferdy Sambo, serta kecurigaan keluarga korban dengan adanya luka sayatan di beberapa bagian tubuh almarhum.

Tapi, tulisan ini, berkaitan dengan peristiwa aksi koboi oknum polisi, yang begitu mudahnya menarik pelatuk senjata api (Senpi) sehingga menimbulkan korban sejawatnya.  

Ternyata, peristiwa polisi tembak polisi dengan melibatkan Brigadir J dan Bharada E, bukan kali pertama terjadi. Sejarah mencatat, sejak 2005 sudah 10 kali tragedi berdarah seperti itu di negeri ini. Sebelas nyawa tewas secara sia-sia.

Pelaku penembakan umumnya anggota polisi berpangkat bintara, seperti Brigadir, Brigadir Kepala (Bripka), Ajun Ispektur Polisi satu (Aiptu) dan Ajun Inspektur Polisi Dua (Aipda). Begitu juga para korbannya, berpangkat serupa. Sebagian besar pemicunya diakibatkan karena gangguan kejiwaan sehingga menimbulkan emosi berlebihan.

Perwira Polisi

Menurut catatan, setidaknya ada empat perwira polisi ditembak oleh bawahanya sendiri. Di antaranya,  AKB Ibrahim Gani, AKB Lilik Purwanto, Kombes Purwadi dan AKB Pamuji. Tiga tewas di tempat, satu selamat dari maut setelah melewati masa kritis di rumah sakit.

Empat anggota polisi yang menembak perwira kondisinya tengah depresi, atau terkena gangguan bipolar yang cukup berat. Dampak dari teguran atau dimutasi wilayah kerjanya oleh atasan. Hal itu kemudian menimbulkan rasa kecewa, dan meletupkan emosi berlebihan yang berujung ada keinginan membunuh sang komandan.

Faktanya seperti itu, memang. Kasus tragedi berdarah polisi tembak polisi diawali penembakan terhadap AKB Ibrahim Gani pada 27 April 2005. Perwira itu ditembak oleh Iptu Sugeng lantaran tak terima dimutasi dari Polres Jombang, Jawa Timur. Pelaku stress. Nyawa Ibrahim selamat setelah mendapat perawatan serius, tapi Sugeng tewas mengenaskan, bunuh diri dengan menembak kepalanya sendiri.

Perwira berikut korban stress bawahannya adalah AKB Lilik Purwanto, tewas di tempat dengan luka enam tembakan di dada pada 14 Maret 2007. Pelakunya adalah Briptu Hance Christianto, kecewa lantaran dipindah tugas dari Polres Kota Besar Semarang ke Polres Kendal, Jawa Tengah. Dan Hance pun tewas bunuh diri.

Lain halnya dengan Kombes Purwadi, Kepala Rumah Sakit (RS) Bhayangkara Makassar, Sulawesi Selatan. Tewas ditembak Briptu Ishak Trianda pada 6 April 2013, hanya gegara jalan di rumahnya jadi sempit akibat perluasan area RS tersebut. Pelaku sakit hati, dan kecewa atas kebijakan korban tersebut.

Setahun kemudian, Kepala Detasemen Makras (Denma) Polda Metro Jaya AKB Pamuji tewas ditembak pada 18 Maret 2014. Penembaknya adalah Brigadir Susanto, anak buah yang tidak terima ditegur lantaran mengenakan pakaian preman saat piket.

Tiga nyawa perwira tersebut melayang hanya persoalan sepele, begitu juga dengan delapan anggota polisi lainnya, jadi korban aksi koboi oknum polisi yang tak kuasa mengendalikan emosinya. Enam polisi yang tewas sia-sia itu di antaranya: Brigadir Kepala Lasmidi (Tangerang/15 Februrai 2014); tiga anggota Brimob Blora, Jawa Tengah (Bripka BT, Brigadir BW dan Brigadir AS) tewas di tempat pada 10 Oktober 2017; Bripka Rahmay Efendy (Depok/25 Juli 2019); Aipda NS anggota Polsek Sirenja, Sulawesi Tengah (8 November 2019); Brigadir Satu HT (anggota Polda NTB/25 Oktober 2021); dan tragedy yang baru adalah Brigadir J (Jakarta Timur 8 Juli 2022).

Mental Kejiwaan

Mengingat pemicu tragedi polisi tembak polisi adalah kejiwaan, maka sangat diperlukan tes psikologi untuk menilai mental kejiwaan secara periodik guna menghindari penyalahgunaan Senpi. Misalnya setahun sekali, atau ketika anggota polisi akan dinaikan pangkatnya.

Sebab, jika tes psikologi hanya dilakukan sekali, tidak menjamin secara kejiwaan baik selamanya. Dalam periode tertentu, misalnya setahun, kondisi kepribadian akan berubah. Ketika di tes awal hasilnya bagus, belum tentu pada pengulangan berikutnya akan sama. Pasti berubah. Ini menyangkut masalah kepribadian.

Itu sebabnya, selain tes kepribadian, juga diperlukan pengawasan atau pembinaan sebagai upaya mengantisipasi masalah munculnya stress maupun gangguan kejiwaan lainnya. Pemicu stress pada umumnya adalah persoalan sehari-hari, serta rumahtangga. Hal ini mesti melibatkan psikolog.

Pada upaya tersebut, biasanya pihak pengawas atau Pembina akan membuat bank data file setiap anggota polisi. Ini diperuntukan untuk menentukan kebijakan bagi yang bersangkutan, apakah layak memegang Senpi atau tidak, serta masalah kenaikan pangkat.

Syarat penting bagi setiap anggota polisi, maupun pihak sipil yang mendapat izin penggunaan Senpi, mental dan emosional harus stabil. Tidak sertamerta diberikan begitu saja. Dan ketika hasil tes psikologi berkala kurang baik dari sebelumnya, perlu bimbingan lanjutan. Dalam kontek ini institusi Polri harus proaktif terhadap jajarannya.

Kepemilikan

Di negara hukum seperti Indonesia, kepemilikan Senpi tidak bisa sembarangan. Baik sipil maupun aparat. Harus ada izin khusus, serta tes piskologi oleh ahlinya.

Bagi anggota Polri, kepemilikan Senpi diatur dalam Surat Keputusan (SK) Kapolri No. 860/VIII/1999 tentang Petunjuk Lapangan Penggunaan Senjata Api bagi Anggota Polri. Yakni, diperuntukan guna mendukung tugas polisi menjaga keamanan dan keselamatan secara umum.

Seperti diketahui, kepemilikan Senpi diberikan secara kesatuan, serta anggota polisi yang bertugas khusus. Misalnya ajudan/pengemudi pejabat Polri, pengamanan dan pengawalan, Bendahara Satker, dan operasional kepolisian. Itupun yang berpangkat Bintara ke atas dengan status lulus dari tes kejiwaan, kesehatan, dan keterampilan menembak.

Itupun masih belum cukup, setiap anggota polisi juga harus mendapat surat perintah dari pejabat yang berwenang dalam hal kepemilikan Senpi. Mengingat alat itu milik negara, sifatnya adalah pinjam pakai, bukan dalam arti kepemilikan secara pribadi.

Jika menilik aturan kepemilikan Senpi begitu ketatnya, tapi kenapa sampai terjadi 10 kali tragedi berdarah polisi tembak polisi. Aturan tinggal lagi aturan. Dalam konteks ini harus ada perbaikan di tubuh institusi kepolisian, khususnya menyangkut kepribadian setiap anggota polisi.

Seperti disebutkan di atas, pemicu mudahnya menarik pelatuk adalah masalah psikologis, tak kuat menahan beban kejiwaan yang berujung perbuatan nekat. Karena itu diperlukan pengetatan oleh lembaga kepolisian, baik dalam hal tes kepribadian maupun pengawasan fisik Senpi. Jika hal ini dilakukan, dipastikan kepemilikan tidak akan disalahgunakan.
  
Penulis adalah:
Ketua DPC Peradi Jakarta Barat (Peradi SAI)
Ketua LBH Ikatan Sarjana Katolik (ISKA) Jabodetabek
Ketua LBH Serikat Pemersatu Seniman Indonesia (SPSI)

Penerima penghargaan ‘The Leader Achieves In Development Award’ dari ‘Anugerah Indonesia’ dan ‘Asean Development Citra Award’s dari Yayasan Gema Karya
 

Dapatkan Info Teraktual dengan mengikuti Sosial Media TabloidSkandal.com