Tutup Menu

Advokat Terjerumus Di Balik Kepentingan Klien

Minggu, 10 Oktober 2021 | Dilihat: 5091 Kali
    
 
JAKARTA – tabloidskandal.com ||Selama rentang waktu 2005 sampai 2021 sudah puluhan advokat dipenjara lantaran melanggar hukum. Padahal profesi ini memiliki dua ketentuan, yakni Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) dan Kode Etik Avokat. Semestinya, dalam melaksanakan tugas, mengutamakan tegaknya hukum, kebenaran berkeadilan dan menjunjung tinggi profesi advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile).
 
Tapi faktanya, sebagaimana diungkap Indonesia Corruption Watch (ICW) beberapa waktu lalu, ada 22 advokat terjerat hukum sepanjang 13 tahun (2005 – 2018). Kasus terbanyak adalah gratifikasi (suap) 16 orang, disusul menghalang-halangi penyidikan pidana korupsi 4 orang, dan memberi keterangan tidak benar ada 2 orang.
 
Lalu pada tahun 2019 bertambah dua advokat melanggar hukum. Satu kasus pemukulan hakim pada persidangan perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), dan satunya lagi terjaring operasi tangkap tangan (OTT) dalam kasus suap Rp 200 juta untuk salah satu oknum pejabat Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta.
 
Artinya, hingga tahun ini tercatat 24 advokat melanggar hukum. Sebagian besar diciduk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lewat OTT, sisanya dijaring Kejaksaan dan diberangus Kepolisian. Dari jumlah itu, tiga di antaranya dibebaskan hakim karena dianggap tak cukup bukti untuk dipidana.
 
Membela kepentingan klien merupakan kewajiban bagi advokat. Hal ini diatur di dalam (UU Advokat) dan Kode Etik Avokat. Tapi jika seorang advokat mengabaikan kewajibannya, seolah-olah melakukan kepentingan klien padahal melanggar aturan, organisasi yang membawahinya akan memberikan sanksi, mulai dari yang ringan hingga pemecatan profesi. Selain pula sanksi hukum yang diatur di dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
 
Sepertinya, ada dua kasus yang kerap dilakukan oknum advokat dalam konten bela kepentingan klien. Yakni, menyuap (hakim, jaksa dan polisi) dan menghalang-halangi penyelidikan. Berikutnya adalah tindakan kurang manusiawi, mengobral emosi berbuntut penganiayaan terhadap orang lain.
 
Semua tindakan pelanggaran hukum dan kode etik profesi tersebut pada umumnya lantaran pengaruh klien. Dengan iming-iming finansial, akhirnya sang advokat mata gelap, menabrak ketentuan yang telah disepakati sebelum memulai profesi. Cilakanya, hak imunitas disalah artikan, seolah-olah advokat itu kebal hukum ketika menjalani profesinya.
 
Lantas, terkait hak imunitas advokat, sebagaimana diatur Pasal 16 UU Advokat dan Pasal 7 huruf g Kode Etik Advokat, apakah advokat yang melakukan pelanggaran aturan pada saat menjalankan profesi membela klien di dalam dan di luar persidangan dapat dipidana?
 
Menjaga Martabat
Menurut Advokat Senior Dr. Palmer Situmorang, sekalipun advokat memiliki hak imunitas, bukan berarti bebas bertindak dan kebal hukum. Hanya dalam hal tertentu; misalnya untuk kepentingan hukum dan pembelaan klien, baru hak imunitas itu berfungsi.


Seorang advokat berhak mengemukakan segala hal secara bebas dan merdeka, tanpa rasa khawatir dituduh, dituntut fitnah, atau dipidana hanya karena menolak membuka rahasia kliennya. Hal seperti inilah yang mendapat perlindungan hak imunitas.
 
Sebaliknya, jika advokat terbukti melakukan tindakan tercela, seperti menganjurkan klien memalsu surat, atau bahkan menipu kliennya sendiri, adalah perbuatan tercela yang dapat dikualifasikan sebagai tindakan kejahatan dan bisa dipidana.
 
Begitu pula jika advokat merangkap kurator, kemudian membuat surat-surat hutang palsu untuk menaikan jumlah tagihan kreditur, atau menyuap, tidak termasuk yang dilindungi oleh hak imunitas. Dengan sendirinya hak itu tidak berlaku.
 
“Tentunya, diharapkan Advokat dapat menjaga martabat dan kehormatan profesi, serta harus tunduk dan taat hukum, serta utamanya menjunjung tinggi etika professi,” saran Palmer.
 
Disamping sanksi pidana, lanjut dia, advokat bermasalah juga mendapat hukuman dari Dewan Kehormatan Organisasi yang membawahinya. “Jika hasil proses pemeriksaan sidang kode etik dinilai telah melanggar Kode Etik Advokat, maka hukumannya mulai dari peringatan sampai pemecatan sebagai Advokat,” katanya seraya mengingatkan, setelah dipecat advokat tersebut tidak diperbolehkan lagi melakukan praktik di dunia peradilan.
 
Dijelaskan advokat senior salah satu pendiri organisasi Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) yang diproklamirkan 27 Juli 1990; sejak terbitnya SEMA No.73 tahun 2015, semua advokat bebas mendirikan organisasi advokat, sehingga banyak bermunculan advokat baru di bawah standar. Bahkan ada organisasi advokat melakukan pelantikan dan pengambilan sumpah terlebih dahulu, baru kemudian dilakukan pendidikan (PKPA).
 
Hal seperti itu, tegas Palmer, mengancam martabat advokat, dan bahkan sudah masuk dalam titik nadir. “Namun begitu, upaya untuk menjaga martabat advokat di tengah bencana ini, serta upaya mendapatkan kesetaraan dengan penegak hukum lainnya (Catur Wangsa penegak hukum) seperti Polisi, Jaksa dan Hakim, maka setiap advokat dalam menjalankan profesinya harus tertanam atau ditanamkan dalam dirinya untuk senantiasa mengutamakan tegaknya hukum, kebenaran berkeadilan dan menjunjung tinggi Etika Profesi Advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile),” pungkasnya..
 
Dilarang Praktik
Begitu juga dikatakan advokat Stefanus Gunawan, Ketua Dewan Pimpinan Cabang Perhimpunan Advokat Indonesia –Suara Advokat Indonesia (DPC Peradi-SAI) Jakarta Barat. Tidak ada advokat kebal hukum, sekalipun dalam menjalankan profesi memiliki hak imunitas, jika melanggar aturan dan kode etik profesi pasti akan dihukum. Tidak ada pengecualian.
 

“Hak imunitas itu diperuntukan bagi advokat yang beritikad baik dalam menjalankan profesinya. Tapi, mereka yang melanggar perundangan, ya mesti dihukum sebagaimana ketentuan yang berlaku,” tegas advokat senior yang juga menjabat Ketua LBH Serikat Pemersatu Seniman Indonesia (SPSI) ini.
 
Terkait kasus pengacara melanggar hukum, alumnus pasca sarjana Universitas Gajah Mada ini mendesak organisasi advokat memecat oknum advokat yang terbukti bersalah, karena telah merusak citra profesi terhormat.
 
“Ketika hukuman terhadap oknum advokat itu sudah berkekuatan tetap, organisasinya segera memberhentikan secara permanen. Keanggotaannya dicabut, dan dilarang berpraktik sebagai advokat. Pemecatan tersebut kemudian diberitahukan kepada MA, Kejaksaan dan Kepolisian serta organisasi advokat lainnya,” sarannya.
 
Namun, dia juga mengingatkan bahwa tak harus advokat dianggap bersalah dikenakan sanksi pemecatan. “Menurut hemat saya, tidak mesti advokat yang divonis pengadilan lalu dipecat organisasi. Tindakan pemecatan, sama saja menghukum mati profesi. Advokat yang bersangkutan sudah tidak boleh lagi berpraktik. Sanksi itu sangat… sangat berat sekali. Kecuali pelanggar berat etika profesi, ya, mau tidak mau harus diberhentikan,” ujar Stefanus.
 
Karena itu, sarannya, beritikad baiklah ketika menjalani profesi advokat. Jadilah advokat profesional, tunduk terhadap perundang-undangan, dan patuh pada sumpah yang pernah diucapkan ketika mengawali profesi.
 
“Janganlah demi kepentingan klien disalah artikan, dengan menghalalkan pelanggaran aturan dan etika profesi. Itikad baik adalah tugas profesi demi tegaknya keadilan atas dasar hukum untuk untuk membela kepentingan klien. Bukan sebaliknya, “itikad baik” dilakukan demi material dari klien,” papar Stefanus menutup pembicaraannya dengan Tabloidskandal, baru-baru ini.
 
Marwah Advokat
Sementara itu, advokat muda jebolan Strata 2 Leeds Beckett University, United Kingdom (Inggris), jurusan International Business Law (2014 – 2015), Rene Putra Tantrajaya, merasa prihatin atas kenyataan banyak advokat di negeri ini begitu mudahnya melanggar hukum dan kode etik profesi.
 

Semestinya, kata anak muda ini, dengan adanya kode etik setiap advokat harus menjaga martabat dan kehormatan profesi. Dan wajib tunduk serta mematuhi ketentuan yang termaktub di dalam kode etik profesi, yang ditetapkan oleh organisasi advokat untuk anggotanya.
 
“Berkaitan dengan banyaknya advokat terjerat hukum, secara pribadi saya prihatin sekali. Sepengetahuan saya, dalam melakukan pekerjaan, seorang advokat tidak hanya terbatas pada jasa fee saja, tapi juga harus mengutamakan tegaknya hukum, dan menempatkan advokat sebagai profesi terhormat,” katanya.
 
Jika kondisi hukum carut-marut, lanjut Rene, berarti ada yang salah di dalam pemberlakuaan hukum itu sendiri. Di mana hukum dijadikan komoditas, diperdagangkan. Ada yang menjual, ada yang membeli. Ada pula pesanan. Sehingga hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah.
 
“Media massa kerap memberitakan kasus yang kontennya “tumpul ke atas dan tajam ke bawah”. Ini kaitannya dengan rasa keadilan hanya milik orang kaya dan pejabat. Sementara rakyat kecil, tak disentuhnya. Di sinilah peran advokat dalam hal penegakan hukum, memberi rasa keadilan kepada semua orang. Tak ada pengecualian. Apakah itu orang kaya, pejabat maupun rakyat kecil sekalipun,” ungkapnya.
 
Kepada advokat muda seangkatannya, Rene mengingatkan agar dapat menjaga profesi advokat sebagai profesi terhormat. Sekali terjerumus, apalagi merusak citra profesi, tak akan lagi terampuni. Profesi itu akan pergi meninggalkan jauh-jauh.
 
“Jagalah marwah profesi advokat sebaik mungkin. Jangan sekali-kali terjebak oleh iming-iming klien atas dasar kepentingan. Sebagai advokat muda, saya akan menjaga sumpah profesi yang pernah terucap di awal karir,” pungkasnya.
(H. Sinano Esha)
 
 

Dapatkan Info Teraktual dengan mengikuti Sosial Media TabloidSkandal.com