JAKARTA –Tabloidskandal.com ll Rapat Kerja Komisi III DPR RI-Kapolri pada Rabu (24/8/2022) menunjukkan soliditas Polri dan dukungan politik kuat dari parlemen untuk reformasi Polri. Sekaligus menepis berbagai keraguan publik tentang Polri sebagai akibat lanjutan dari kejahatan yang dilakukan oleh Ferdi Sambo (FS), termasuk memeriksa 97 orang anggota Polri.
Demikian komentar Ketua SETARA Institute Hendardi, dalam keterangan tertulis yang diterima Tabloidskandal.com, Kamis (25/8/2022).
Menurut dia, penindakan terhadap sejumlah anggota, perwira menengah dan perwira tinggi Polri sesuai dengan tingkat keterlibatannya, di satu sisi telah memunculkan ketegangan baru karena aroma kontestasi dan faksionalisasi di tubuh Polri.
“Tetapi di sisi lain, justru menunjukkan efektivitas langkah dan kepemimpinan Kapolri dengan mengambil kendali penanganan kasus FS dan agenda pemulihan kepercayaan public,” ujara Hendardi.
Secara garis besar, lanjutnya, paparan Kapolri dalam merespon berbagai pertanyaan menunjukkan bahwa penanganan kasus FS sudah on the rightstrack sehingga dorongan untuk percepatan pelimpahan dan persidangan bisa menyudahi prahara di tubuh kepolisian.
Pada bagian lain Hendardi menyatakan, bahwa paralel dengan itu, sejumlah anggota DPR juga mengingatkan pentingnya percepatan penanganan anggota Polri yang dianggap melanggar kode etik segera dilakukan. Termasuk pernyataan clearance dari Kapolri atas sejumlah anggota yang sudah diperiksa, tetapi sebenarnya tidak terlibat. Dengan demikian, konsolidasi internal Polri pada jalan perbaikan baru yang holistik bisa diakselerasi.
Dia juga berharap, setelah semua langkah presisi dilakukan Kapolri dalam merespon prahara di tubuh Polri, tugas mendesak berikutnya adalah menyusun langkah-langkah strategis lanjutan sebagai agenda reformasi Polri.
“Harus diakui, agenda reformasi Polri dalam waktu yang cukup lama telah mati suri dan kehilangan arah,” sebut Hendardi.
Ditambahkan, gerak perbaikan Polri selama ini lebih bergantung pada kepemimpinan Kapolri yang menjabat tanpa desain holistik dan berkelanjutan. Jika dilacak, baik pemerintah maupun DPR sebagai law makers dan juga mitra Polri, tidak ditemukan produk kebijakan yang menggambarkan desain reformasi Polri itu.
“Reformasi Polri semata-mata mengandalkan aturan-aturan internal Polri yang daya ikat, tingkat kepatuhan dan akuntabilitas kinerjanya sulit diukur dan sulit diakses oleh publik,” papar Ketua SETARA Institute.
Kembali dijelaskan, sesuai dengan desain konstitusional dan legal sebagaimana tertuang dalam Pasal 30 ayat 4 UUD Negara RI 1945, dan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri, bahwa Polri adalah organisasi negara di bawah Presiden dengan tugas menjaga keamanan, melindungi dan mengayomi masyarakat, dan tugas penegakan hukum.
“Dengan cakupan mandat yang sangat luas, menyusun detail agenda reformasi Polri adalah kebutuhan aktual, sehingga beberapa fakta dan dugaan tentang masalah-masalah di tubuh Polri, serta aspirasi publik agar Polri lebih akuntabel bisa terjawab,” kata Hendardi.
Ketua SETARA Institute kembali mengingatkan, beberapa agenda yang mengemuka pasca peristiwa Duren Tiga harus dicatat dan direformulasi, seperti soal tata sekolah kedinasan, penguatan peran Kompolnas, kualifikasi keanggotaan di tubuh Propam, disparitas penanganan dan perlakuan kasus, ketundukan Polri pada supremasi sipil, pembangunan karakter polisi sipil, dekonstruksi kultur Polri, transparansi dan akuntabilitas penyidikan, dan lain-lain menemukan momentumnya untuk ditata.
“Reformasi Polri harus menjadi agenda publik luas sehingga mampu menangkap sebagian besar suara rakyat, suara lirih para korban, dan mandat konstitusional legal eksistensi Polri sebagai pelindung, pengayom dan penegak hokum,” pungkas komentar Hendardi.