Tutup Menu

Habibie, Demokrat Sejati Indonesia

Rabu, 17 April 2019 | Dilihat: 1455 Kali
    
Jakarta, Skandal

BJ Habibie, Presiden RI ke-3, semalam  hadir dalam acara Indonesia Lawyer Club (ILC), 16/4.

Dia bicara soal pengalamannya menjadi "orang kepercayaan" Jenderal Besar HM Soeharto selama 20 tahun. Baik kapasitasnya sebagai teknokrat, politisi maupun tokoh yang dipercaya mengisi pembangunan. 





Bicaranya masih seperti dulu. Cepat dan terbuka. Maklumlah lelaki asal Gorontalo yang dibesarkan di Pare, Sulawesi Selatan ini, jebolan Jerman, ahli di bidang Pesawat Terbang. Jadi bicaranya terbuka, tidak ada yang ditutupi.

Dia mengaku suka mengkritik Soeharto. Bahkan, saking kerasnya, penguasa 32 tahun negeri ini, mengingatkan Habibie yang saat itu disebut sebagai menteri kesayangan Soeharto.

"Habibie, kau boleh saja tidak suka, tapi saat ini saya adalah pemimpin. Jadi kau harus ikuti instruksi dan perintah saya. Nanti setelah kau jadi pemimpin, silahkan," ujar Habibie mengutip wejangan Soeharto.

Akhirnya, kepemimpinan itu tiba. Habibie menjadi presiden, setelah Soeharto mengundurkan diri akibat tekanan massa. 

Sehari dilantik, Habibie langsung membentuk kabinet. Hanya dua "job" yang  tidak diisi, yaitu Jaksa Agung dan Gubernur BI. Malah, Habibie memanggil Jaksa Agung ke istana.

Ternyata, kepada Jaksa Agung itu, dia meminta semua tahanan politik dibebaskan. "Tidak boleh orang ditahan, hanya karena berbeda pendapat atau pilihan," tegas Habibie.

"Lantas, bagaimana dengan Sri Bintang Pamungkas?" 

Lagi-lagi Habibie tidak peduli, meski keputusannya itu tidak populer. Dia tetap meneken semua pembebasan Tapol, termasuk PKI.

Bagi Habibie, kekuasaan itu adalah milik Allah, pemilik alam semesta ini. Lalu, dari Allah, kekuasaan itu dialihkan kepada ciptaanNya, sekaligus memilih salah satu yang memiliki SDM  handal.

"Karena milik Allah, kita tidak berhak menghukum karena berbeda pilihan," jelas Habibie.

Habibie pun bercerita, saat baru menjadi presiden, begitu banyak laporan yang masuk. Namun, menurut dia, report tersebut bukan menyentuh kepada rakyat, pemilik kedalautan. 

"Makanya saya cabut SIUPP, saya bebaskan pers. Saya ingin mendengar langsung dari rakyat, bukan dari mereka," jelas Habibie yang kini menduda. 

Meski diprotes keras, lagi-lagi Habibie tidak peduli. Bila pers menyebarkan hoax, berita bohong, maka pers itu akan mati ditinggal pembaca. "Media itu akan bangkrut," tegasnya. 

Pemikiran itu mengingatkan pers dalam teori liberal. Kebenaran itu harus dimimbarkan, didiskusikan terang benderang, bukan diselesaikan di kolong meja. 

Dua hal "inovasi" Habibie itu, banyak menyebut, dirinya adalah demokrat sejati. Di era dia, pemilu langsung dipercepat, membuat PDIP menjadi pemenang Pemilu, sekaligus "penjegal" pertanggungjawabannya Habibie ditolak, yang melahirkan Gus Dur menjadi presiden ke-empat negeri ini.

Makanya, di Pemilu ini, 17 April, dia berharap siapa pun pemenangnya adalah presiden rakyat. Dia harus mengabdi kepada rakyat, pemegang kekuasaan yang diberikan kepada Tuhan. Bukan dari koalisi. Apalagi PDIP dan Gerindra.(Lian Lubis)

Dapatkan Info Teraktual dengan mengikuti Sosial Media TabloidSkandal.com