Oleh: H. Sinano Esha – Jurnalis
Jakarta – Tabloidskandal.com II Sebagian besar organisasi advokat di Indonesia belum memiliki struktur yang bernama: Komisi Pengawas (KP). Padahal objek atau sistem yang terorganisasi satu ini sudah diatur di dalam ketentuan Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat). Tapi malah diabaikan. Organisasi lebih memilih menunggu keputusan pengadilan atas tindakan sikap anggota yang melanggar perundang-undangan.
Terkait objek itu, perlu kiranya mengapresiasi Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), sejak diproklamirkan pada 21 Desember 2004, yang dibentuk oleh tujuh organisasi advokat, telah memiliki KP. Pengaturan atas suatu pengawasan dipergunakan agar organisasi lebih profesional. Terlebih pada awalnya organisasi ini diharapkan menjadi wadah tunggal advokat. Tetapi malang, di tengah perjalanan Peradi terpecah menjadi tiga.
Jika menilik isi Pasal 12 dan Pasal 13 UU Advokat, keberadaan KP mutlak diperlukan bagi setiap organisasi advokat, guna menjaga marwah profesi yang mulia. Tugas yang jadi bebannya adalah, melakukan pengawasan keseharian terhadap advokat anggota organisasi. Sebagaimana ketentuan ayat (1) pada Pasal 13.
Secara proaktif KP dapat melakukan pengawasan, dan pemeriksaan terhadap advokat yang dianggap melanggar aturan hukum, atau sikap yang tak sesuai dengan etika profesi. Sekecil apapun laporan masyarakat, pengaduan sesama advokat maupun pengurus organisasi, atau viralnya berita media massa tentang pelanggaran yang dilakukan advokat, KP dengan sendirinya dapat memanggil serta meriksa. Tanpa terlebih dahulu menunggu keputusan pengadilan berkekuatan tetap, sebagaimana halnya hukum acara DK.
Dengan kata lain, secara hukum KP berhak memanggil untuk meriksa anggota advokat yang menjalankan profesinya tidak menjaga dengan baik Kode Etik Profesi (KEP), dan diduga melanggar ketentuan hukum yang berlaku.
Memang, sebagian besar OA di negeri ini tak memiliki struktur KP, tapi punya KEP. Di mana, di dalam pasalnya, disebutkan mekanisme tugas pengawasan organisasi. Aneh, kan? Ada aturan tapi strukturnya tak terbentuk. Lantas, siapa yang berhak menjalankan tugas dan kewenangan KP jika terjadi pelanggaran yang dilakukan anggotanya? Sementara hukum acara DK terfokus pada menunggu hasil keputusan pengadilan.
Itu sebabnya KP mutlak dimiliki setiap Organisasi Advokat (OA). Cuma sayangnya, objek satu ini diabaikan dibanyak OA di negeri ini. Kejadian demi kejadian yang dilakukan oknum advokat lepas dari pemeriksaan awal organisasi (KP), baru kemudian bersikap setelah pengadilan menjatuhkan keputusan.
Dalam konteks ini, asas yang dimiliki OA adalah praduga tak bersalah atas suatu tindakan yang dilakukan oknum advokat. Karena itu, setiap kasus dibiarkan untuk ditindaklanjuti oleh penyidik, baru kemudian, setelah ada putusan pengadilan, DK berperan meriksa etika profesinya.
Terlepas dari asas tersebut, dengan adanya pemeriksaan awal yang dilakukan KP, setidaknya hasilnya bisa dijadikan alat untuk pembelaan di pengadilan jika kasus pidana yang dilakukan oknum advokat berlanjut ke proses hukum.
Seperti diketahui, sejak tahun 2005 hingga 2021 sudah puluhan oknum advokat kedapatan melanggar hukum atas nama kepentingan klien. Sebagian besar kasus gratifikasi (suap), disusul kasus penggelapan/penipuan dan penganiayaan. Mereka merupakan anggota OA yang tak memiliki KP dalam keorganisasiannya, tetapi punya KEP.
Pimpinan Lalai
Satu contoh kasus yang masih hangat-hangatnya jadi pembicaraan di kalangan dunia hukum belakangan ini, adalah tindakan advokat anggota Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) yang ditangkap dan dijadikan tersangka oleh polisi. Yakni, RPS yang mencalonkan diri sebagai Waketum Munas ke VI - AAI, dan APG. Mereka yang juga selaku kurator diduga melipatgandakan jumlah piutang PT Humpuss Patragas dan Humpuss Trading, dari semula Rp 172, 084 miliar menjadi 414, 629 miliar.
Karena AAI tak memiliki KP sejak diproklamirkan pada 27 Juli 1999, kecuali KEP, dua anggota itu belum diperiksa oleh organisasinya. Padahal penyidik telah menetapkan sebagai tersangka.
Memang rada aneh kedengarannya, punya KEP tapi tak memiliki objek KP yang proaktif mengawasi perilaku anggotanya. Itulah kenyataannya di dunia hukum negara +62 ini.
Dari hasil komunikasi penulis dengan advokat senior yang juga mantan Ketua Komisi Pengawas Peradi (2013 – 2015), Denny Kailimang, disimpulkan bahwa keberadaan KP menjaga marwah profesi advokat sebagai
officium nobile (profesi terhormat).
Menurut dia, ketika media massa ramai memberitakan oknum advokat ditangkap dan dijadikan tersangka oleh penyidik, KP dapat segera melakukan penyelidikan. Tidak harus menunggu keputusan pengadilan. Secara moral dapat diketahui, apakah yang bersangkutan salah atau tidak. Dan hasil pemeriksaan, PK menyerahkan kepada DK untuk menentukan sanksi atas tindakan tersebut.
Dengan tindakan KP memproses, kata Denny, meski kasusnya didapat dari pemberitaan media massa, itu artinya struktur organisasi yang satu ini telah menjaga kehormatan profesi anggota OA yang lain. Telah menjalankan ketentuan Pasal 6 UU Advokat, yakni advokat harus bersikap, bertingkah laku, bertutur kata atau mengeluarkan pernyataan yang menunjukan sikap hormat terhadap hukum, peraturan perundang-undangan dan pengadilan.
Denny menjelaskan, dasar hukum penyelidikan/pemeriksaan KP adalah Pasal 12 dan Pasal 13 UU Advokat. Juga ada pada ketentuan di KEP setiap organisasi. Artinya, tindakan KP yang merupakan bagian dari OA dapat dibenarkan secara hukum.
Apabila ada yang tidak membentuk KP, menurut dia, maka pimpinan OA telah lalai dalam memimpin. Keberadaan KP itu sangat penting dalam melakukan pengawasan secara proaktif. Semua laporan atau pengaduan yang masuk dari masyarakat, akan ditampung dan dibahas oleh KP. Termasuk berita media massa tentang tindakan atau perilaku advokat yang bertentangan dengan kehormatan, martabat dan tanggung jawab sebagai advokat.
Kurang Efektif
Advokat senior lainnya, Alexius Tantrajaya, dalam dialog dengan penulis menyatakan bahwa keberadaan KP itu penting bagi kesinambungan suatu OA. Namun efektifitas KP lebih cocok bagi wadah tunggal OA, kalau untuk organisasi di luar wadah tunggal kurang efektif.
Kenapa bisa begitu? Menurut dia, ketika KP menjalan tugas menegakan kode etik di OA non wadah tunggal, hasilnya dipastikan menjadi tidak maksimal sebagaimana diharapkan. Masalahnya, anggota OA yang dikenakan sanksi itu dengan mudahnya hengkang ke OA lainnya. Malah kemudian membentuk OA baru. Dengan begitu, dosanya terhapus, dan lahir seperti bayi yang masih suci. Padahal sebenarnya tercela, profesi yang dijalankan tak sesuai Pasal 6 UU
Advokat.
Ditegaskan Alexius, sikap tak terpuji itulah pokok persoalan yang kerap dilakukan oknum advokat. Tindakan yang pasti merugikan klien, yaitu jasa profesi yang tidak profesional. Di mana kepentingan klien dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi sang oknum.
Advokat ini mengingatkan kepada OA, kasus berkaitan dengan profesi advokat yang muncul di tengah masyarakat harus menjadi perhatian serius, agar marwah profesi penegak hukum yang mulai tetap terjaga.
Dia merasa prihatin atas dugaan perbuatan yang dilakukan dua advokat yang menggelembungkan jumlah piutang, serta puluhan advokat lain yang sudah dihukum pidana maupun etika.
Di akhir pembicaraan, Alexius berharap agar OA bersatu untuk kembali membentuk wadah tunggal advokat, sebagaimana diamanahkan Pasal 28 ayat (1) UU Advokat. Putusan Mahkamah Kontitusi (MK) No.101 Tahun 2009 yang merupakan produk hukum dan mengikat, cukup jelas menyiratkan bahwa organisasi advokat adalah wadah tunggal.
Karena itu, masih harapan dia, seluruh pimpinan OA untuk menyampingkan keegoannya, berpikir sehat untuk kemajuan profesi advokat di negeri ini. Dan Wadah tunggal advokat, sebenarnya, sudah tidak lagi menjadi perdebatan. Secara historis, mengenai pembentukan wadah tunggal terkamtub pada Pasal 1 ayat (4), Pasal 32 ayat (3) dan (4) dan Pasal 33 UU Advokat.
“Jadi, apa yang mesti diperdebatkan jika pembentukan wadah tunggal itu sudah diamanatkan UU, dan keputusan MK pun mutlak perlu adanya wadah tunggal. Sudahlah, hilangkan rasa egoisme demi kemajuan profesi officium nobile ini,” pungkas Alexius.