Pontianak Kalbar, Skandal
Diskusi Publik Merajut Kembali Nilai - Nilai Kebangsaan dilaksanakan di Hotel NEO Jl Gajah Pontianak 5/12/2020.
Dalam kegiatan ini tetap ikuti sesuai aturan Protokol Kesehatan yang dihadiri Pangdam XII Tanjungpura dan Kapolda Kalimantan Barat yang mewakili, sebagai Keynote Speech ada 3 narasumber ialah Rektor Universitas Tanjungpura sebagai narasumber pertama dan Rektor Universitas Nahdlatul Ulama sebagai narasumber kedua, Rektor Muhamaddiyah Pontianak sebagai narasumber ketiga.
“Bagi bangsa Indonesia bulan November merupakan salah satu bulan yang sangat bersejarah bagi pelestarian nilai-nilai kebangsaan, budaya, adab serta kebhenikaan, nilai nasionalisme bagaimana mempertahankan, memelihara dan terus membangkitkan rasa kepahlawanan sebagai warga bangsa,” papar tiga tokoh muda pengagas kegiatan akademi kebangsaan ini.
Ketua KJP Happy Hendrawan menyebut bahwa pada 27 Oktober hingga 20 November 1945, terjadi pergolakan rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan yang dikumandangkan pada 17 Agustus 1945.
Dimana sebagian besar dari mereka adalah anak - anak muda yang bergerak dan terus berjuang selama tiga minggu dan tiga hari, yang puncak perjuangan terjadi pada 10 November 1945.
Momentum tersebut menjadi tonggak bersejarah terhadap nilai-nilai kebangsaan dan kepahlawanan bangsa Indonesia. Pertempuran besar tersebut sebagai bukti eksistensi kemerdekaan yang dipelopori kalangan muda dan terpelajar, dimana kalangan santri menjadi bagian tak terpisahkan, melalui Resolusi Jihad KH. Hasyim Asyari.
Namun, sayang sekali kini dalam perkembangannya, nilai kebangsaan, nilai Pancasila UUD 45 dan kepahlawanan sebagai wujud nyata dari nasionalisme termanifestasikan dalam banyak bidang dan bentuk.
Berbagai aktivitas dan karya dalam memajukan bangsa adalah bagian nyata dari rasa tersebut. Bela negara dan bangsa dapat muncul dalam banyak bidang, mulai dari pengabdian sebagai aparatur sipil negara, ekonomi, seni budaya, karya-karya kreatif, penyelamatan terhadap lingkungan, maupun dunia akademis.
Akan tetapi ditengah gempuran revolusi dimana teknologi dalam kehidupan sosial adil dan beradab, yang terdapat pada Pancasila direpresentasikan dalam media sosial.
“Menguak bagaimana nilai kebangsaan mulai terdegradasi oleh euphoria teknologi digital. Bahkan terminology dunia pendidikan pun mulai menegasikan nilai-nilai kebangsaan dengan semakin berkurangnya porsi pendidikan kebangsaan,” sebutnya.
Tidak mengherankan, lanjut Happy, apabila teknologi menjadi sebuah acuan kemajuan tanpa lagi menyertakan nilai-nilai, Pancasila Bhineka Tunggal Ika, UUD 45, adat dan kebangsaan.
Etika dalam berinteraksi sudah semakin jauh dari kaidah-kaidah norma, begitu bebas orang berbicara (menulis isi hati tanpa pikir) di media sosial hingga Tampa sadar istilah, adat, etika, simbol Pancasila, simbol dari nenek moyang kita juga sudah hampir punah ditelan kemajuan digital.
“Sehingga muncul tesis baru bahwa gelar dan jenjang pendidikan tidak lagi berbanding lurus dengan kualitas intelektual, moral pancasial (adab),” ujarnya.
Memotret peristiwa dan hiruk pikuk serta penjungkir - balikan nilai sepanjang 10 tahun terakhir ini, tambah Happy, kiranya perlu sebuah forum reflektif dalam mengkaji, menafsir kembali serta menelisik bagaimana peran perguruan tinggi dalam menanamkan nilai Pancasila, nilai kebangsaan, etika dan norma perilaku sebagai pusatnya kaum intelektual.
“Baik secara dasein maupun das sollennya. Diskusi ini tentu diorientasikan bagi upaya antisipasi bagi berkembangnya nilai-nilai media sosial menggantikan nilai intelektual generasi muda kalangan kampus,” tambahnya.
Terkait dengan kondisi tersebut dan bulan November sebagai bulan kepahlawanan, maka NU Kalbar bersama KJP, KAMIJO menggagas sebuah forum diskusi bertajuk.
“Mengkaji dan Tafsir Ulang Nilai-nilai Kebangsaan dalam Perspektif Perguruan Tinggi Pada Era Digital”.
Kegiatan ini juga diorientasikan sebagai launching gerakan moral #jagain