Jakarta, Skandal
Tahun politik kali ini, rada-rada ternoda. Bukan lagi Paslon “berhadapan” sesama Paslon, melainkan dengan “kotak kosong”. Tak percaya?
Tengok saja di Makassar, Sulawesi Selatan. Pasangan Petahana, Mohammad Ramdhan Pomanto – Indira Mulyasari (akrab dengan sebutan Diami), gagal merebut tiket bertanding di Pemilihan Walikota. Maklumlah, kasasi pasangan ini, ditolak oleh Mahkamah Agung.
Keputusan MA ini, sekaligus menguatkan keputusan PT TUN sebelumnya. Dalam putusannya, TUN Makassar membatalkan penetapan pasangan Petahana itu sebagai peserta Pemilihan Walikota (Pilkot) yang ditetapkan oleh KPU.. Dengan begitu, pasangan Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi akan berhadapan dengan kotak kosong.
Jokowi
Maklumlah, Diami dianggap melampaui kewenangannya sebagai Walikota demi keuntungan pribadi. Dia dituding membagi-bagi Handphone kepada Ketua RT. Padahal, seperti dikatakan oleh Prof Amiinuddin Ilmar, pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Hasanuddin dalam kesaksiannya, pembagian itu merupakan program pemerintah, disetujui gubernur, bupati dan walikota. Lagipula, Hp itu dibagikan, 6 bulan lalu sebelum penetapan Paslon.
Banyak menyebut, “perilaku” Petahana itu bukan rahasia umum lagi. Habitat itu menjadi preseden bagi petahana dalam merebut kekuasan jilid dua. Cuma, nasib sial saja buat Diami. Pasangan ini “divonis” melanggar, termasuk penolakan MA tadi. Ada kekuatan politik besar bermain? Apalagi, seteru petahana ini, diusung oleh partai penguasa di negeri ini, PDI P. Betul begitu? Entahlah
Yang jelas, fenomena “demokrasi kotak kosong” ini diperkirakan bakal terjadi di Pemilihan Pilpres mendatang. Sebab, sampai tulisan ini diturunkan, seteru Jokowi di Pilpres, Prabowo Subianto, belum juga mendeklarasikan diri sebagai Calon Presiden. Malah, seperti dikatakan kadernya sendiri, Desmon Mahesa, Prabowo bakal urung bertarung di Pilpres.
Amien Rais
Kenapa? Banyak faktor. Ada juga menyebut, ambang batas 20 persen itu sangat sulit. Maklumlah, Gerindra hanya punya sohib PKS. Sedang partai lainnya, merapat ke penguasa. Mereka bersaing kadernya menjadi pendamping Jokowi.
Sementara Demokrat punya sikap lain; membuat poros sendiri maupun “berkawan” dengan PDIP. Begitupun PAN yang ingin bergabung dengan pemerintah, tapi pendirinya, Amien Rais ngotot menyerang Jokowi; dari mulai ngibul soal sertifikat, hingga sipil berwatak otoriter.
Wakil Presiden
Eh, sudah begitu – entah karena ambang batas 20 persen tadi, wacana yang berkembang pun bukanlah menjadi Capres. Melainkan sebagai Wakil Presiden, entah itu Muhaimin Iskandar, Gatot Nurmantanyo (meskipun telah mendeklarasikan sebagai Capres), Jusuf Kalla, Agus Harymurti Yudhoyono, hingga Prabowo pun akan “dijadikan” wakilnya Jokowi.
Sementara itu, survei yang dilakukan oleh Litbang Kompas, lagi-lagi menunjukkan Jokowi bakal melawan “kotak kosong”. Survei itu menetapkan Jokowi diurutan teratas mencapai 55,9 persen. Sedangkan Prabowo hanya 14,1 persen, setara dengan wakil-wakil lainnya.
Maraknya pencalonan Cawapres ketimbang Capres, membuat lokomotif reformasi pun jadi gerah, "Ini bahaya, terjadi destruksi terhadap demokrasi," ujarnya, seraya menyebut Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Rojiun jika hal itu terjadi.
Kalangan PDI P pun, termasuk relawan Jokowi, emoh jika mantan Walikota Solo itu berhadapan dengan kotak kosong. Alasannya, lagi-lagi, tidak baik untuk demokrasi.(Ian)