Oleh Lian Lubis
Masiih ingat Thomas jeferson, Presiden Amerika Serikat Sekaligus Bapak Bangsa Amerika bernama George Wsahington, dalam sejarah Thomas Jeferson mengaku lebih memilih jadi presiden di Negara kecil yang memiliki surat kabar ketimbang negara besar tapi tidak punya surat kabar.
Alasannya pers sebagai pilar keempat demokrasi punya kontrol sosial yang kuat, sehinggga Napoleon Bonaparte lebih takut dengan sebuah tulisan ketimbang seribu bayonet. Pujian tersebut konon katanya dikoreksi kaisar perang Perancis itu dalam sebuah wawancara oleh wartawan Indonesia Kenapa tuan lebih takut dengan sebuah tulisan ketimbang sebuah tulisan. "Oh, maaf statmen tersebut saya lontarkan saat saya belum belajar tentang Indonesia.” Ujarnya
"Maksud tuan? " Tanya si wartawan penasaran.
Saat itu saya lupa membentuk Departemen Penerangan. sebab bukan rahasia lagi Departemen ini identik memberlakukan lembaga perizinan dari mulai Surat Terbit hingga SIUP eranya Harmoko. Untungnya lembaga perizinan ini tutup buku di era Reformasi dengan keluarnya UU no 40 tahun 1999 yang dikenal sebagai UU Pers, disitu tidak lagi memberlakukan Siupp, SIT maupun Surat Tanda Terbit (STT). Lembaga Perizinan diganti dengan berbentuk Badan Hukum yang dikeluarkan Kemkumham.
Begitupun organisasi pers tidak melulu harus PWI sebagai wadah tunggal organisasi Wartawan yang saat ini jumlahnya tak terhitung jari sepuluh. Ada belasan jumlahnya.
Lagipula, organisas pers saat ini tidak selalu memperjuangkan Kebebasan Pers, justru sebaliknya jangan sampai pers merugikan masyarakat dengan tulisan tendensius melainkan berimbang atau Cover Both Side.
Pokoknya tidak semua fakta harus ditulis dengan tetap mengedepankan pertanggunganjawan pers kepada masyarakat. Sekadar contoh soal berita ranah anak, baik sebagai korban maupun pelaku nama anak harus dirahasiakan termasuk nama orangtua, nama Sekolah, tempat tinggal dan sahabat anak. Larangan itu semua bersandar bahwa setiap anak baik pelaku maupun korban masih punya masa depan, Jangan sampai jati diri itu membuat si anak jadi suram masa depannya.
Oleh karena itu organisasi pers saat ini harus mampu mengedukasi anggotanya tentang kewajiban pers yang tertuang dalam Kode Etik Jurnalistik, sehingga ada jargon setiap wartawan harus Lulus mengikuti Uji Kompetensi Wartawan yang dilakukan Dewan pers yang diberikan kewenangan oleh UU No 40 tahun 1999.