Hanya Muchtar Deluma - Bakri Idrus (Muchtar - Bakri) yang representatif mewakili aspirasi dan amanat rakyat dalam menjalankan kepemimpinan kabupaten tolitoli, Sulawesi Tengah [Sulteng] lima tahun kedepan.
Demikian dinyatakan politisi dan praktisi Hukum, Haji Dr Irwanto Lubis, SH MH yang langsung dibenarkan sahabatnya, udin lamatta dalam sebuah diskusi ringan belum lama ini, di Palu.
Hal ini diungkap praktisi bang Iwan sapaan akrab Irwanto Lubis, menyusul geliat pesta demokrasi pilkada awal desember 2020 sudah mulai menghangat.
Sejumlah tim sukses (timses) sudah tampak menggadang gadang bakal calon Bupati dan wakil Bupati mereka ke publik, baik tatap muka langsung ke sudut-sudut kota dan kampung, maupun diperkenalkan melalui media cetak, sosial media (sosmed) FB dan WA Grup.
Senada dengan ketua Media Online Indonesia (MOI) Sulteng, udin lamatta, bang Iwan mengurai alasannya mengapa Muchtar - Bakri dinilai sebagai pigur yang layak diberi amanah untuk benahi daerah penghasil cengkeh yang boleh dikata sudah porak poranda itu.
Dikatakan, dua puluh tahun sudah Tolitoli dipimpin oleh sebuah dinasti, namun kondisinya masih begitu begitu saja, stagnan dan jalan ditempat, seiring kian suburnya praktek nepotisme dan perkara korupsi yang melibatkan pejabat pemda di sana.
Berdasarkan informasi dan data, bahwa akibat tabiat nepotisme dan indikasi korupsi dalam dinasti itu pula menghantarkan perlawanan PNS Azis Bestari (kini ketua Nasdem Tolitoli) naik ke pentas politik, gunana menentang sikap dan kebijakan bupati yang yang saat itu ramai "dinyanyikan" sebagai penguasa Tirani.
Dalam rentang waktu dua puluh tahun itu, kepemimpinan Tolitoli ini berturut turut dipegang Haji Maruf Bantilan alias MB selama dua periode, menggantikan Kolonel Gumyadi diambang Reformasi. Dan saat memasuki periode kedua MB yakni 2005, kursi ketua DPRD Tolitoli dikuasai sepupunya, Saleh Bantilan alias Alex Bantilan.
Selepas dari kekuasaan MB selama sepuluh tahun, tepatnya pada pilkada 2010, Alex Bantilan naik tahta dan berkuasa menggantikan sepupunya, Maruf Bantilan. Dan selanjutnya Alex kembali terpilih jadi Bupati untuk kedua kalinya hingga september 2020 nanti.
Pastinya, dalam dua puluh tahun dinasti Maruf dan Alex memimpin Kabupaten Tolitoli, Iwan menilai belumlah sebanding dengan hasil kirnerja Bupati Gumiyadi yang hanya lima tahun itu.
Mirisnya, APBD Gumiyadi saat itu jaoh lebih kecil dari APBD Bupati Alex Bantilan didua periode ini. Adalah berbanding terbalik kondisi daerah dijaman Gumiyadi dengan kehidupan Tolitoli dibawah kendali Bupati Alax selama sepuluh tahun. Gerak pembangunan dan pertumbuhan ekonomi -- tak kecuali penataan kota, pertanian dan perdagangan -- ditangan Gumiyadi itu senantiasa bergerak pesat.
"Tapi kesininya, dua puluh tahun kemudian astafirullah, lihat saja sendiri wajah dan kehidupan kota itu," ujar Iwan. Dan akibatnya, kata Udin Lamatta menimpali, selama dua puluh tahun itu pula amanah diberikan Rakyat untuk merawat daerah ini, tapi kenyataannya kian kesini malah nyaris semua sektor berantakan, dan tersesat.
Sekarang, tambahnya, pesta pilkada akan ditabuh lagi, dsn tampaknya dinasti itu hadir kembali. Lihat saja misalnya, dari tiga pasangan bakal calon Bupati dan bakal calon wakil Bupati, dinasti itu muncul lagi didua pasangan kandidat sebagai calon wakil Bupati, yakni pasangan Rahman Budding - Faisal Bantilan (adik kandung MB), serta pasangan Amran Yahya - Besar Bantilan (anak bungsu bupati Alex).
"Sebenarnya, dialam demokrasi tidak masalah jika ada politik dinasti, tapi ya itu tadi, dinasti ini tidak amanah, yang terlihat hanya perkara koruptif," ujan Udin Lamatta, sambil mengaku pihaknya miliki perkara dugaan tindak pidana masa lalu yang hingga saat ini belum dipertanggung jawabkan oleh Bupati Tolitoli itu.
Tapi baiklah, apapun itu, Irwanto Lubis mengingatkan bahwa keledai dungu pun tidak mau terperosok dua kali ke dalam lubang yang sama.
Maksudnya ?
"Dua puluh tahun dinasti itu berkuasa, dan lihat apa yang terjadi. Sekarang, renungkan dengan akal sehat sebelum menyesal untuk kesekian kalinya," ujarnya, seraya menambahkan lihat kapasitasnya, jangan popularistasnya, karena popularitas pasti tidak menjamin suatu perubahan tanpa dibarengi kemampuan untuk itu.(din)