Jakarta, Skandal
Kepala Badan Penelitian Pengawasan Obat dan Makanan (BP POM) Jawa Barat, Drs. Abdul Rahim Apt. MSi, menilai Indonesia memiliki kekayaan tanaman berkhasiat yang melimpah ruah di dunia, berada di bawah Brazil yang menempati urutan pertama.
Bersama sahabat kecilnya, Udin Lamatta
"Namun, dalam penghasil obat tradisionil, ternyata Cina lebih populer di dunia, ketimbang Indonesia dan Brazil," tutur Abdul Rahim saat bincang-bincang dengan Skandal di sebuah mall kawasan Senen, Jakarta Pusat.
Jadi, menurutnya, memiliki kekayaan tanaman berkhasiat, bukan lantas menguasai pengobatan tradisionil. "Lihat saja Cina. Mereka terkenal sebagai penghasil obat-obat tradisionil di dunia," beber Abdul Rahim.
Semua itu, tambah lelaki berdarah Bone, Sulawesi Selatan ini, karena Cina punya SDM handal dalam pengobatan tradisionil, ketimbang Indonesia dan Brazil.
"Cina itu punya banyak terapis, entah itu Sinse, akupunturis, tabib dan sebagainya. Kita jauh tertinggal," tambah Rahim, begitu sapaan akrabnya.
Sekadar bukti, lelaki kelahiran 1964 di Toli Toli, Sulawesi Tengah ini, menyebut produk obat tradisionil Cina membanjiri industri network marketing. "Penguasaan mereka sekitar 70 persen. Sisanya Amerika dan lokal," tambah Rahim.
Padahal, sambungnya dengan mimik kesal, Indonesia lebih unggul dalam pengadaan tanaman berkhasiat. "Tapi nyatanya, health food maupun food supplement asal Cina menguasai pasaran network marketing," tuturnya, menyebut miliaran hingga triliunan rupiah terbang ke Cina lewat network
marketing.
Tapi, sambungnya, secara kualitas ada juga obat tradisionil Indonesia yang oke. Misal, jamu tetes yang berasal dari 20-an tanaman berkhasiat asal Indonesia, yang salah satu bahan bakunya rumput teki.
"Di Gorontalo, ketika Gubernurnya Fadel Muhammad, rumput teki digunakan untuk makan sapi, terutama menggemukan sapi dan membersihkan pecernaan dan usus," tutur alumnus Univetsitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan. Hasilnya sapi bukan hanya gemuk, tapi juga bersih pencernaanya ketika dipotong.
Menurut Rahim, jika untuk Sapi saja bagus digunakan, maka logikanya cocok juga untuk manusia. "Hanya saja obat tradisionil ini, dalam iklan-iklanya over claim bisa menyembuhkan penyakit apa saja," tutur Rahim.
Dia mengingatkan agar obat-obat tradisionil hanya bersandarkan kesaksian konsumen jangan langsung mengklaim sebagai obat yang mampu menyembuhkan.
"Itu tidak benar," tandasnya. Rahim menganjurkan dengan istilah dapat membantu mengobati atau membantu menormalisir gangguan penyakit tertentu.
"Kalau mengobati semua, kesannya kayak "obat dewa", meskipun tanaman berkhasiat punya khasiat tertentu yang sudah diteliti," tutur Rahim yang sering dijadikan nara sumber dalam membahas makanan, obat tradisionil dan sebagainya.
Sebab, menurutnya, sesuatu yang bisa dijadikan obat menyembuhkan, prosesnya panjang. Bukan hanya rekam jejak medis, tapi juga membutuhkan banyak sampel uji coba, baik in vivo maupun in vitro, cara kerjanya di tubuh dan sebagainya.
"Jadi, cantumkan saja dapat membantu menyembuhkan, bukan mengobati," tuturnya mengahiri obrolan. (Lian)