Oleh Tri Joko Susilo, Ketua Umum DPP Perisai Bangsa
Tahun politik kaii ini benar-benar panas. Bukan hanya sekadar “people powernya” reuni 212 yang menembus 10 juta orang, juga “perang” pernyataan yang membuat banyak orang mengelus dada dan miris.
Lho buktinya, lihat saja nasib Jenderal Besar (Purn) mendiang HM Soeharto. Dia dituding oleh wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Ahmad Basarah, sebagai guru korupsi Indonesia, suatu tuduhan yang paradok dengan julukannya sebagai Bapak Pembangunan negeri ini.
Tudingan kader pengusung presiden petahana ini sebagai counter terhadap pernyataan Prabowo Subianto, saat jadi pembicara di The World in 2019 Gala Dinner di Grand Hyatt Hotel, Singapura, 27/11. Di situ, Danjen sekaligus menantu mantan median Presiden Soeharto ini menyebut korupsi saat ini sudah di level 4.
Ahmad Basarah
“Korupsi di Indonesia sudah sangat parah. Ini yang merusak masa depan kita,” jelas Prabowo, yang membuat petinggi Kabinet Kerja Jokowi dan konco-konconya “kebakaran jenggot”, sehingga menyeret-nyeret nama besar mendiang Presiden Soeharto.
Sampai-sampai, kader “partai anak kemarin sore” – Partai Solidaritas Indonesia, ikutan nimbrung. Siapa? Telunjuk pun mengarah ke Raja Juli Antoni, Wakil Sekjen PSI. Dia mengusulkan agar soal korupsi Orde Baru jadi materi debat Capres dan Cawapres 2019 mendatang.
“Usulan ini jauh lebih mendidik masyarakat secara politik dari pada berkilah Soeharto bukan symbol KKN, Soeharto guru korupsi,” ujar Antoni, menyebut watak Orba yang dipimpin Soeharto anti diskusi. Maklumlah, di mata dia, setiap kali Orba diajak diskusi, selalu dibalas dengan tudingan PKI, komunis dan sebagainya.
Vonis Pengadilan
Tersangkutnya nama Soeharto dalam “duel” Pilpres kali ini, tentu saja membuat sebagian kalangan geram dan marah. Terlebih Soeharto sampai saat ini masih masih punya fans seantero Nusantara ini. Dia tetap anak desa asal Kemusuk, Yogyakarta, peduli kepada para petani, ditandai bangsa ini menorehkan prestasi swasembada beras, sebuah prestasi yang belum bisa dicapai presiden penerusnya.
Lagipula, menjadikan Orba sebagai “pesakitan”, juga dinilai sebagian kalangan tidak pas. “Apa iya, rezim ini terbebas dari Orba,” bisik seorang politisi kesal. Siapa yang tidak tahu Menko Polhukam Wiranto sebagai ajudan smiling Jenderal Soehato? Tjahyo Kumolo kader Golkar dan pentolan FKPPI, Jusuf Kalla, Luhut Binsar Panjaitan, juga bagian dari rezim Orde Baru.
Malah, Sutiyoso yang mantan Kepala BIN, juga orang yang bertanggungjawab “mengobrak-abrik” Kantor PDI dalam peristiwa 27 Juli, kok tetap dipakai? Jadi, banyak menyebut, Antoni itu lupa sejarah. Lupa track record politik, sehingga memvonis serampangan. Lupa di era reformasi ini masih banyak orang Orba.
Bahkan, banyak menyebut, Soeharto sebagai guru korupsi, juga dinilai keblablasan. Sebab, sampai saat ini, belum ada secuil pun kekuatan hukum bahwa Soeharto sebagai koruptor, apalagi memvonis sebagai guru koruptor.
Begitupun TAP MPR No 11 tahun 1998 itu yang digulirkan Ahmad Basarah dan Antoni, itu pun sami mawon. Secuil pun, tidak ada klausal menyebutkan Soeharto korupsi, kecuali amanat memberantas KKN di negeri ini. Amanat itu tidak hanya berlaku bagi Orba, tetapi juga buat rezim yang berkuasa saat ini.
Nah, cerita Soeharto dan korupsinya, tak jauh beda dengan Soekarno dan PKI. Sampai saat ini, ada pandangan terbelah keterlibatan Seokarno dengan PKI. Satu mengamini. Di lain pihak, menolaknya dengan keras.
Tapi, yang jelas, secuil pun belum ada vonis pengadilan tentang Soekarno terlibat PKI.
Hanya saja, aliran PKI dinyatakan haram di negeri ini lewat TAP MPR. Sementara Soekarno terlibat, lagi-lagi, tak ada vonis pengadilan.
Padahal, ketika menerima mandat Supersemar, Soeharto punya kekuaran besar. Dia bisa saja menggeret Soekarno ke pengadilan.
Mikul Dhuwur
Tapi kenapa tidak dilakukan?
Di situlah jiwa besarnya Soeharto dengan konsep Mikul Dhuwur Mendhem Jero. Artinya, memikul setinggi-tingginya nama baik orang tua, dan mengubur sedalam-dalamnya segala kekurangannya).
Soeharto sendiri, dalam bukunya berjudul Soeharto: sikap, pikiran dan tindakannya menyebutkan suatu hari ditanya Soekarno dalam bahasa jawa, “ Harto, Jane aku iki are kok apakke?” (Harto, sebenarnya aku ini akan kamu apakan?), aku ini pemimpinmu?
“Bapak Presiden,” jawab saya, “saya ini anak petani miskin. Tetapi ayah saya setiap kali mengingatkan saya untuk selalu menghormati orang tua. Saya selalu diingatkannya agar dapat mikul dhuwur mendhem jero.
Banyak menyebut, konsep jawa itulah yang kini dilupakan para politisi. Demi kekuasaan, ataupun carmuk pada bos, lupa kepada etika. Lupa kepada nilai-nilai yang dijunjung bangsa ini; sehingga lidah yang tak bertulang itu jangan asal berkoar-koar membuat suasana politik jadi keruh.