DILEMA HUT 471 BUMI KARTINI DAN MARAKNYA JURNALIS PEMULA
Senin, 13 April 2020 | Dilihat: 1561 Kali
Oleh: Singgih Purwanto.
Menyimak obrolan antar rekan rekan lembaga control sosial di Jepara rasa rasanya tak pernah selalu habis jika di bahas.
Kenapa ...? Kadang mereka berbicara kritis ,berbicara jujur kacang ijo,berbicara vokal,hal itu hanya kebanyakan di argumenkan dengan temanya sendiri Artinya menjadi hal biasa jagong di warungi kopi siapa tahu ada kasus, lalu jadi materi.
Idialis dan vokalis menjadi hal yang sangat langka jika ada di antara mereka yang bener bener vokal di Jepara. Namun ketika di hadapan instansi dengan oknum pejabat yang nota bene oknumnya serong,korup dipastikan secara otomatis mereka yang menepuk dada. Berstempel sosial control, lembaga pasti tidak berdaya. Artinya tidak berdaya saat iming iming 86 di depannya.
Di sisi lain bumi kartini berumur 471tahun. Saya rasa biasa biasa saja belum ada yang istimewa,toh yang jadi sosial control sama sama bermain pada pelaku pelakunya.Bagaimana bisa istimewa oknum oknum ASN nya yang di kritik dicontrol pura pura mentupi malunya.
Sangat miris melihat fenomena oknum oknum yang mengaku ngaku berprofesi di Jepara. Mereka yang beralih profesi misal dulu ada yang di ormas sekarang pindah hijrah menjadi jurnalis. Hal ini meragukan sebuah profesi yang dianggap murahan.
Kebanyakan mereka juga belum tahu apa itu artinya berita serta tehnik tehnik tentang jurnalistik,apalagi parahnya ada yang menyebut jurnalis MANDIRI yang ini biasanya berburu materi dengan jualan media cetak. Tak jarang yang aktif dalam hal pemberitaan.
Pemerintah jepara kurang bijak menyikapinya. Contohnya ada anak emaskan pada suatu lembaga yang harus serta wajib layaknya sebuah profesi yang bersikap independen dengan pemerintah.
Namun fakta itu pemerintah Jepara justru memberi fasilitas yang penggunaanya memakai duit dari pajak rakyat,sehingga menyebabkan pemerintah Jepara sengaja membangun kesenjangan antara rekan rekan seprofesi bisa dimaknai wartawan pendopo kabupaten yang mendapat fasilitas paten, dan wartawan di luar kabupaten kadang rata rata ngetren, namun tak bisa absen.
Ironis sekali adanya oknum pejabat ketika menghadapi pers si oknum pejabat itu menganjurkan untuk bergabung pada orgnisasi pers yang jadi piaraanya. Bukankah wartawan itu bebas memilih organisasi pers...?.Rasanya para pejabat pemerintah di Jepara belum paham betul dengan UU 40.1999 yang mengatur segala lini pers itu sendiri.
Anehnya ada teman yang baru terjun di dunia jurnalis ,dulu bangga sekali saat punya organisasi lokal Jateng baru di deklarasikan di bumi kartini beberapa bulan ini. Kini teman kita bingung untuk pilih pilih organisasi pers,mungkin saja bagi mereka yang sekiranya mungkin mudah cari duitnya.
Jika demikian bagaimana bisa menjadi social control yang handal serta independent jika mereka hidup dari anggaran pajak rakyat. Bahkan masih ada terkotak kotak, dari mana datangnya istilah wartawan plat merah, dan wartawan liar. Aku sendiri sangat prihatin setelah melihat situasi begini di Bumi Kartini tercinta.
Seolah olah terjadi dua kelompok wartawan. Semoga menjadikan pelajaran yang berharga dan memacu teman-teman untuk menulis hasil karya jurnalistik yang berbobot sebagai tugas wartawan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Meski saya sendiri sebagai insan jurnalistik pemula merasa gatal tanganku untuk uneg uneg ini, karena aku sadar Jepara mempunyai potensi luar biasa bila semua berpikir obyektif. Dirgahayu Jepara Bumi Kartini 471.
(Penulis adalah ketua bidang idiologi YKKI Yayasan komonitas kritis indonesia)