Tutup Menu

Penimbunan Pasar Omele Seluas 9 Hektar Tanpa Amdal

Minggu, 23 Juni 2019 | Dilihat: 1304 Kali
    


Saumlaki, Skandal

Zakarias Reressy, mantan Kabag Satpol PP Kabupaten Kepulauan Tanimbar ( KKT) akhirnya membuka mulut seputar penimbunan 9 hektar lahan pesisir yang kini menjadi Pasar Omele. 
 
Dia menilai pembangunan penimbunan Pasar Omele seluas 9 Hektar tidak punya izin Amdal, UKP dan UPL. 

Menurut putra Desa Sifnana ini, Pasar Omele dikerjakan oleh PT Lintas Yamdena, 
atas dasar rekomendasi mantan Bupati KKT, Bito Temar, tertuang dalam surat No : O2/Rekla/1/2009 tanggal 20 Januari.

"Ternyata, selain inprosedural, implementasinya juga  rekomendasi itu merusak hutan bakau, menimbulkan hutang pihak ke 3," ungkap Zakarias pada Skandal 22/6.

Lebih aneh lagi, dinas terkait saat Itu, tidak tahu menahu soal ijin UKL,UPL dan  Amdal. Apalagi sebagian besar material yang digunakan material milik Pemda yang diangkut dari lokasi yang sudah dibebaskan Pemda yang rencananya akan dibangun Gedung Stadium yang sekarang dibangun Gedung Bulog dan Kantor Bapas. 

Sementara  sebagian kecil lagi timbunannya diangkut dari belakang SMA Unggulan, milik Agus Tiodorus, bos PT Lintas Yamdena.

"Akhir 2008 setahu saya, pekerjaan penimbunan 9 hektar sudah dikerjakan Agus Tiodorus sebelum keluar rekomendasi, dilanjutkan  penimbunan di tahun 2009. Baru kemudian rekomendasinya di keluarkan," papar Cak, sapaan akrab Zakarias.

Terkait rekomendasi yang inprosedural, menurut sumber,   karena saat Itu kondisinya tidak terjadi bencana alam, bencana sosial, atau pekerjaan penimbunan tersebut teknisnya tidak bersifat khusus atau mendesak.

"Seharusnya Pemda saat itu membentuk tim Panitia  Lelang yang di-SK-kan Bupati untuk melelangkan pekerjaan tersebut, bukan langsung memberikan rekomendasi," jelas sumber.
 
Menurut sumber, bupati dapat memberikan rekomendasi kepada pihak Ke III, namun harus melalui mekanisme, mengingat pekerjaan penimbunan 9 hektar Pesisir Pantai Pasar Omele tidak punya izin UPL, UKL dan Amdal.

Karena  tidak ada anggarannya dalam APBD Induk Tahun 2009, maka seharunya Bupati undang pihak ke-3 untuk tawarkan pekerjaan terbut. Bila pihak ke-3 setuju, maka kedua  pihak menandatangani kesepakatan MOU,  lalu MOU itu di usulkan ke pihak DPRD untuk diparipurnakan. Bila DPRD setuju,  DPRD dan Pemda keluarkan Surat Kesepakatan  Bersama ditanda tangani  Bupati sebagai pihak pertama dan Ketua DPRD sebagai pihak Kedua. 

"Lalu  Bupati keluarkan Rekomendasi ke pihak 3, dalam hal ini, Agus Tiodorus untuk melakukan pekerjaan penimbunan," tuturnya.

Ternyata, terbalik. Kesepakatan antara DPRD dan Pemda saat itu ditandatangani  Mantan Ketua DPRD Forner CH Sanamase dan mantan Bupati Bito Temar,  No: 1803/1519.224/01/KES/DPRD MTB/X/2009.

Kemudian di tahun 2012 Agus Tiodorus melakukan penagihan ke Pemda atas hasil pekerjaan penimbunannya, yang saat itu tidak dibayar. Maka Pemda mendatangkan Konsultan Independent dari Bandung untuk menghitung jumlah material yang digunakan menimbun 9 hektar lahan tersebut.

Hasil hitungan konsultan, anggaran biaya yang harus dibayar Pemda ke PT Lintas Yameda  sebesar Rp 22 miliar sekian. Namun hasil itu tidak disetujui Agus Tiodorus.

Sebaliknya, pihak Agus Tiodorus memberikan hasil hitungannya kepada Pemda, sebesar Rp 44 miliar sekian.

Sontak saja, Mantan Bupati menolak hitungan PT Lintas Yameda, sehingga akhirnya menggugat Pemda Di Pengadilan Negri Saumlaki. 

Skandal menghubungi mantan Bupati  melalui telepon seluler. Namun bersangkutan tidak nenerima telepon. Namun saat dihubungi via SMS untuk mengkonfirmasi, dia memberikan tanggapan terkait penimbunan Pasar Omele, dinilainya menyumbang tiga manfaat penting.

Pertama, martabat manusia bertahap di pulihkan. "Sebelum ada pasar itu, para ibu  dari Nus Das dan Nus Bab menjajakan jualannya dengan berjalan dari rumah ke rumah, atau masuk Ke Pasar Pelabuhan dan sering disakiti.

"Dengan pasar tersebut, mereka dapat berjualan  dengan nyaman," tandasnya 

Kedua, tambahnya lagi, lewat pasar tersebut, usaha kecil dan menengah mulai muncul secara dinamis. "Sidang retribusi dan pajak daerah dapat ditarik sebagai salah satu PAD," tutur mantan Bupati KKT.

Terpenting, tambah Bito, DPRD dan Pemda melalui APBD 2017  menganggarkan Rp 42 miliar  pembayaran hutang pihak Ke III, termasuk penimbunan pasar tersebut.

"Tetapi pada perubahan APBD 2017 itu, alokasinya  buat kegiatan lain, bukan untuk kepentingam rakyat," tandasnya.  

Bito Temar mengaku, karena rasa sayang, tidak ingin membedah kemana larinya Rp 42 Miliar itu. "Nantin ada yang wajahnya merah padam, bahkan dapat berbuntut panjang," tegasnya.

Bito menambahkan, sebenarnya timbunan Itu bukan proyek. Ada proyek catting rield yang saat itu perlu dibuang. Tapi, Agus Tiodorus mengarahkan sampah atau limbah tadi ditampung di tempat yang saat ini dipersoalkan. 

"Karena volumenya besar sekali, lagi lagi muncul ide dari staf melakukan kanalisasi melalui program pembangunan Talud dan seterusnya," urainya.

Karena ada kekurangan, sesuai  arahan staf, maka Agus Tiodorus menambah Kwari sehingga luas hamparan jadi  9 hektar.

"Karena  bukan proyek, Dinas PU perlu menghitung berapa volume sampah dan volume Kwari. Mereka mengundang konsultan  menghitung," ungkap Bito.

Ternyata, hasil hitungan tidak disepakati, sehingga  pihak penimbun  membawa ke pengadilan yang mengeluarkan 
keputusan berkekuatan tetap. (TAN 1}

Dapatkan Info Teraktual dengan mengikuti Sosial Media TabloidSkandal.com