Rembang, Skandal
Proyek pembangunan fisik dan Infrastruktur masih menjadi perioritas utama pembangunan di sejumlah desa di Kabupaten Rembang. Proyek yang bersumber dari alokasi anggaran dana desa itu belum mampu menyentuh program pemberdayaan masyarakat dengan berbagai alasan dan kondisi alam yang berbeda-beda.
Salah satunya adalah Desa Bendo Kecamatan Sluke Rembang. Letak geografis yang berada di dataran tinggi mengakibatkan masyarakat enggan menjalankan program pemberdayaan karena masih membutuhkan ketersedian sarana infrastruktur yang layak dan cukup memadai.
Desa yang terletak diujung selatan sekitar 3 kilometer dari kecamatan Sluke itu memperoleh kucuran anggaran Dana Desa (ADD) senilai Rp. 1,3 milyar lebih 2018. Anggaran tersebut telah dialokasikan untuk pembangunan fisik infrastruktur, talud, rabat jalan dan pembangunan Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) serta jambanisasi.
Kades Desa Bendo Drajad menyebutkan, saat ini terdapat 78 unit RTLH. Dari jumlah tersebut ada15 unit rumah keluarga miskin yang sudah dibangun tahun ini. Sedangkan 2019 direncakan 10 unit, sisanya secara bertahap akan terus dibangun.
“Harapan saya Rumah Tidak Layak Huni dari keluarga miskin itu semakin berkurang sebab ini menjadi salah satu item ukuran kesejahteraan,” harapannya.
Ia mengatakan, sejak digulirkannya ADD 2011-2018 periotas pembangunan di desanya masih berkutat seputar pembangunan fisik dan infrastruktur saja. Bahkan sampai dengan tahun ke tiga ADD, baru 50 persennya saja yang selesai dibangun dan belum bisa menyentuh program pemberdayaan masyarakat dan beberapa program lainnya seperti Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) karena sampai saat inipun embrionya belum terbentuk.
“ Apalagi kondisi geografis desa kami terletak di dataran tinggi maka pembangunan fisik dan infrastruktur masih sangat dibutuhkan masyarakat di sini,” kata Drajad menjawab pertanyaan wartawan disela-sela mengawasi proyek pembangunan talud jalan sepanjang 125 meter dan tinggi 120 meter Kamis (15/11) siang.
Lebih jauh Drajad menjelaskan, perioritas program pembangunan yang dijalankan di desanya berdasarkan permintaan masyarakat melalui Musyawarah Rencana Pembangunan Desa (Musrenbangdes). Agar hasil pembangunan berkualitas dan sesuai dengan perencanaannya maka pihak desa membentuk Tim Pelaksana Kegiatan (TPK).
Disinggung soal keterlibatan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam proses pembangunan desa Ia mengatakan, pihaknya selalu melibatkan BPD sejak dari proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan hingga pelaporan.
“BPD itu sebagai wakil masyarakat maka sudah semestinya untuk dilibatkan,” tandasnya.
Terpisah Camat Sluke Haryadi, SH. saat ditemui diruang kerjanya mengatakan, untuk memastikan apakah program-program dan ADD benar-benar dijalankan sesuai dengan pengajuan dan keperuntukannya pihaknya membentuk Tim Monitoring Anggaran Dana Desa.
“Tugas mereka melakukan pemeriksaan ke desa-desa terkait dengan anggaran dana desa yang sifatnya tidak menjustis karena untuk tugas itu ada petugas yang lebih berwenang. Hanya saja jika ada temuan maka hasil temuan itu akan dijadikan bahan evaluasi,” katanya. (Sutrisno/Rbg).