Jakarta, Skandal
PDI-P bukan lagi partai yang memperjuangkan nasib wong cilik. Melainkan sebagai partai penguasa yang korup.
Demikian ditegaskan oleh Ketua Umum DPP Perisai Berkarya, sekaligus "serangan balik" kepada Wakil Sekretaris Jenderal Ahmad Basarah ysng menyebut Presiden ke-2 HM Soeharto sebagai guru korupsi tadi siang dalam sebuah obrolan di Cafe bilangan Jakarta Pusat.
Bahkan, menurutnya, tudingan terhadap Smile General itu tidak mendasar, karena sampai akhir hayatnya tidak ada vonis terhadap Soeharto sebagai koruptor.
"Apa ada harta Pak Harto yang dibekukan di luar negeri atau ditemukan seperti nasib Presiden Marcos di Philipina," ungkap Tri, menggeleng-gelengkan kepala.
Sementara tudingan terhadap PDI-P sebagai partai korup, didukung oleh sejumlah fakta-fakta hukum. Mereka diciduk oleh KPK maupun OTT yang tentu dibackup oleh bukti-bukti.
Sekadar bukti, aktivis lulusan HMI ini menyebut sederet nama-nama Kepala Daerah yang masuk ke hotel Prodeo-nya KPK. Di Jawa Tengah, Kepala daerah asal PDI-P menjadi “juara pertama” soal korupsi.
“Dari tahun 2000 sampai Juli 2018 tercatat ada 12 Kepala Daerah asal PDI-P di Jateng yang ditangkap KPK,” jelas Tri bersemangat.
Sementara di 2018 ini, hasil penelusuran Tri, dari 19 Kepala Daerah yang terkena OTT KPK, lagi-lagi PDI-P menempatkan terbanyak. Ada 7 Kepala Daerah yang dicokok, 5 dari Golkar, 1 dari Nasdem dan sebagainya.
Belum lagi kasus korupsi yang melibatkan politisi PDI-P, dari mulai Traveller check Miranda Goeltom, kasus E-KTP ataupun lainnya seperti Yanti Damayanti.
"Jadi, tudingan Ahmad Basarah ini seperti memercik air sendiri ke muka," tambahnya dengan raut kesal.
Padahal, jika melihat ke belakang,
partai pecahan dari PDI ini, mengklaim sebagai pembela wong cilik. "Namun dengan kader-kadernya terjerat korupsi, apa itu memperjuangkan nasib wong cilik? Justru melukai hati rakyat," tudingnya dengan nada keras.
Dia juga menilai, perilaku korupsi itu menunjukkan para politisi di Senayan, termasuk PDI-P tidak amanah pada reformasi.
Kondisi tersebut bertolak belakang dengan sebutan H.M Soeharto sebagai guru korupsi. Penyebutan itu hanya asumsi-asumsi saja tanpa ada dasar ketetapan hukum.
*Harus Fair*
“Sementara sisi baik Pak Harto kok tidak dilihat,” tegas Tri, menyebut keberhasilan Soeharto dalam swasembada beras, meningkatkan kesejahteraan petani dan distribusi pupuk yang murah, membangun infrastruktur irigasi dan waduk, repelita,mempunyai satelit palapa hingga sebagai Bapak Pembangunan Nasional.
“Kita harus fair-lah. Jangan hantam kromo,” lanjut Tri. Ia mengaku sependapat dengan Sekretaris Jenderal Partai Berkarya, Priyo Budi Santoso, tudingan Ahmad Basarah sangat keji, membelokan sejarah kepemimpinan bangsa. Dia menuding Ahmad asal jeplak saja.
“Korupsi stadium 4 itu kan dilontarkan oleh Pak Prabowo,. Kok yang diserang Pak Harto. Jawab saja dengan data, atau buktikan tudingan Pak Prabowo itu salah. Kok nyerempet-nyerempat ke Pak Harto yang tidak ada kaitannya dengan Pilpres,” tambah Tri dengan mangkel.
Tri menduga, tudingan itu kemungkinan hanya untuk meredam kerinduan masyarakat terhadap eranya Soeharto yang serba murah dan tercukupi pangan.
"Karena reformasi gagal, maka rakyat pun rindu dengan eranya Pak Harto. Makanya, agar Soehartoisme tidak bangkit, maka dibunuhlah karakter Pak Harto dengan keji sebagai guru korupsi,” urainya.
Karena itu, sebagai organisasi sayap Partai Berkarya, Perisai Berkarya merasa tersakiti. Ormas ini melaporkan ke polisi soal penyebutan tersebut, termasuk tudingan Sekjen PSI, Raja Juli Antoni, yang menyebut Soeharto symbol KKN.
“Sampai kapan pun laporan itu terus kami kawal. Kami, Perisai Berkarya, jihad konsitusi mengangkat marwah dan harga diri partai kami,” jelas Tri mengakhiri obrolan di sebuah café bilangan Jakarta Selatan.