PEMERINTAH telah mengesahkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru, atau disebut KUHP Nasional, pada 6 Desember 2022 dan akan berlaku efektif Januari 2026.
Dari sekian pasal yang termaktub di dalamnya, yang menarik untuk dibahas dalam dialogis hukum kali ini adalah Pasal 100 dan Pasal 101, yakni berkaitan perubahan hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup dengan suatu pertimbangan.
Dalam Pasal 100 ayat (1) disebutkan, “Hakim menjatuhkan hukuman mati dengan masa percobaan selama 10 tahun dengan memperhatikan: (a) rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri; atau (b) peran terdakwa dalam tindak pidana.” Masa percobaan ini harus tercantum dalam putusan pengadilan, sebagaimana isi ayat (2).
Pada ayat (4) dinyatakan, “Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung.”
Sebaliknya, jika selama masa percobaan terpidana mati tidak memenuhi kriteria pertimbangan, maka eksekusi mati tetap dilakukan atas perintah Jaksa Agung. Hal ini termaktub pada ayat (6), yaitu: “Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.”
Sementara Pasal 101, merupakan celah lain untuk bisa lolos dari eksekusi mati. Pasal ini menegaskan: “Jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama l0 (sepuluh) tahun sejak grasi ditolak bukan karena terpidana melarikan diri, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden.”
Perubahan status pidana mati yang tertuang di dalam ketentuan hukum tersebut, apakah lantaran adanya tekanan dari organisasi kemanusia seperti Amnesty International dan Kontras (korban tindak kekerasan) atau hal lain?
Sementara jumlah terpidana mati di Indonesia menunggu pelaksanaan eksekusi terhitung hingga 2023 ada 405 orang, termasuk Ferdy Sambo. Lantas, apakah putusan hukuman mati sebelum masa berlaku efektif Januari 2026 akan mendapat perubahan status?
Kemudian, lembaga mana yang bertanggung jawab atas penilaian pertimbangan untuk memenuhi kriteria terpidana mati menjadi terpidana seumur hidup, dan apakah pihak tersebut dapat dipercaya bahwa penilaiannya murni, bukan lantaran suka atau tidak suka secara invidu? Dan bebaskah dari modus suap menyuap, karena harga selembar surat penilaian pertimbangan itu dipastikan mahal?
Untuk mengetahui lebih lanjut perihal perubahan status hukuman terpidana mati di negeri ini, H. Sinano Esha dari tabloidskandal.com mewawancarai Stefanus Gunawan, SH, H.Hum, praktisi hukum/advokat senior yang juga Ketua DPC Peradi SAI Jakarta Barat, dan Ketua LBH Serikat Pemersatu Seniman Indonesia.
Advokat Senior Stefanus Gunawan, SH, H.Hum
Di bawah ini petikan wawancaranya:
Sejak 29 Juli 2016, atau setelah empat terpidana mati Narkoba dieksekusi, pemerintah Indonesia sepertinya tidak lagi melakukan eksekusi terhadap terpidana mati. Padahal masih 405 pelaku kejahatan yang divonis mati belum dieksekusi.
Belum dilakukannya eksekusi, apakah karena adanya tekanan dari organisasi kemanusia seperti Amnesty International, Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dan lainnya, atau menunggu hasil pembahasan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR periode 2015-2019 atas KUHP yang baru?
Secara hukum, jika putusan peradilan sudah berkekuatan hukum tetap, pelaku kejahatan wajib dieksekusi. Ini demi kepastian hukum. Sebaliknya, jika putusan itu tidak dieksekusi, maka secara hukum tidak ada kepastian hukum.
Selain itu, akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat hukum. Seperti diketahui, ketika suatu perkara pidana diputus hakim, dan tidak ada lagi upaya hukum lainnya, maka terpidana yang bersangkutan harus dieksekusi sebagaimana bunyi keputusan pengadilan.
Terlepas hukuman mati kemudian muncul pro dan kontra atas pelaksanaan eksekusinya, demi tegaknya hukum dan kepastian hukum, eksekusi harus dilaksanakan. Tidak bisa tidak. Kecuali ada ketentuan lain di dalam perundang-undangan yang tak mengharuskan eksekusi pidana mati.
Menurut Anda, pantaskah pelaku kejahatan luar biasa (Narkotika, Terorisme dan Korupsi) dihukum mati, dan bagaimana sudut pandang Anda terhadap anggapan organisasi kemanusiaan, bahwa eksekusi mati itu melanggar HAM dan tidak manusiawi?
Menurut saya, eksekusi mati terhadap pelaku kejahatan luar biasa, seperti kasus Narkotika, teroris, korupsi dan tindak pidana dalam kategori yang dapat mengganggu keamanan dan keselamatan negara, harus dilakukan. Ini bukan masalah kemanusiaan atau bukan. Ini masalah hukum, karena Indonesia adalah negara hukum, maka pemerintah mesti memberikan rasa keadilan bagi rakyatnya.
Seperti saya jelaskan tadi, sesuai ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia, kejahatan luar biasa pantas dihukum mati. Bukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilanggar pemerintah Indonesia. Karena tuntutan perundangan seperti itu. Kejahatan luar biasa harus dihukum mati jikat pengadilan menjatuhkan putusan pidana mati.
Artinya, Indonesia tidak menganut asas kemutlakan HAM. Sebagaimana negara lain yang juga melakukan hukuman mati terhadap pelaku kejahatan luar biasa. Tujuannya, selain memberikan efek jera, juga memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat, terutama bagi keluarga korban dari kejahatan luar biasa tersebut.
Seperti diketahui, sejak 2008 hingga 2016 pemerintah telah mengeksekusi mati sebanyak 15 orang terpidana teroris dan Narkotika. Namun faktanya, hukuman cabut nyawa tersebut tidak membuat pelaku kejahatan berat itu jera. Anda bisa menjabarkan penyebab utamanya apa?
Penyebab masih maraknya perdagangan Narkotika di Indonesia meski pelakunya banyak yang sudah dieksekusi mati, adalah pasar di negeri ini sangat potensial dan menjanjikan, mengingat wilayahnya cukup luas. Selain itu, begitu mudahnya jaringan kejahatan Narkotika menyeludupkan barang haram tersebut. Dan masih banyak oknum aparat hukum dapat dipengaruhi untuk kelancaran bisnis Narkotika.
Bagi saya, meski pelaku Narkotika dan teroris sudah ada yang dieksekusi mati, tapi pelaksanaan hukuman itu sangat lamban. Bayangkan saja, selama delapan tahun, atau dari 2008 hingga 2016, terpidana mati baru 15 orang saja yang diseksekusi. Sementara jumlah terpidana mati hingga 2023 sudah mencapai 405 orang.
Lambannya pelaksanaan eksekusi bagi pidana mati, ini salah satu penyebab peredaran Narkotika nggak habis-habis, aksi teror terhadap masyarakat dan fasilitas fisik milik aparat hukum terus dilakukan lewat cara perusakan dengan bom, dan kasus korupsi tak pernah berhenti. Saya berharap, apabila terpidana mati permohonan pengampunan (grasi) ditolak Presiden, ya segera dijalankan pelaksanaan eksekusinya. Jangan ditunda-tunda.
Sejauh yang saya ketahui, meski upaya akhir untuk meringankan hukuman mati ditolak, nyatanya terpidana mati masih dikasih kesempatan menghirup udara. Ya, itulah penyebab kejahatan luar biasa tak berkurang dari tahun ke tahun. Belum lagi putusan ringan yang diberikan oknum hakim. Jadi, bagaimana mungkin pelaku kejahatan jera.
Stefanus Gunawan, SH, H.Hum, Ketua DPC Peradi SAI Jakarta Barat, dan Ketua LBH Serikat Pemersatu Seniman Indonesia.
Vonis hukuman mati di Indonesia diatur dalam Pasal 11 KUHP, pertanyaannya apakah setelah pengadilan tingkat pertama menjatuhkan hukuman mati, upaya hukum apa saja yang bisa dilakukan terpidana mati agar lepas atau mendapat keringanan hukuman?
Upaya hukumnya cukup panjang. Mulai upaya banding pada pengadilan tinggi, permohonan kasasi pada Mahkamah Agung, kemudian peninjauan kembali (PK) juga di Mahkamah Agung. Selanjutnya permohonan grasi kepada Presiden.
Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, pengurangan, peringanan, bahkan penghapusan pelaksanaan pidana (eksekusi) terhadap terpidana yang diberikan oleh Presiden.
Kewenangan pengampunan (grasi) oleh Presiden diatur dalam Pasal 14 UUD 1945 tentang Grasi, serta UU No.22 Tahun 2002 sebagaimana dirubah jadi UU No.5 Tahun 2010 tentang Grasi. Yang terpenting dalam hal ini, adalah hapusnya kewajiban menjalankan pidana, serta tujuan pemidanaannya.
Setiap tahapan upaya hukum tersebut, keputusannya tergantung bagaimana perspektif hukum, atau sudut pandang hakim yang mengadili. Dalil hukum sang hakim yang akan menentukan nasib setiap terpidana, bisa diringankan, ditambah, dibebaskan atau tetap pada putasan awal.
Lain pula ketentuan terpidana mati yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP (Nasional). Pada Pasal 100 dan Pasal 101, status hukuman terpidana mati bisa berubah jadi hukuman seumur hidup setelah melewati masa percobaan 10 tahun. Selaku praktisi hukum, apakah Anda setuju atau tidak dengan perubahan status hukuman itu, dan bagaimana pandangan hukum Anda?
Sebagai praktisi hukum, saya tidak setuju ketentuan hukum terkait perubahan status pidana mati jadi seumur hidup. Ketentuan hukum itu harus dicabut. Sebab, putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap, kemudian berubah hanya karena rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri, rasanya tidak adil. Cermin tak ada kepastian hukum.
Ketentuan hukum pada Pasal 100 dan Pasal 101 UU No.1 Tahun 2023 tentang KUHP Nasional, pengganti UU Wetboek van Strafrecht produk kolonial Belanda, bagi masyarakat meragukan, tidak memberikan rasa keadilan, dan tidak memberikan kepastian hukum. Jika kebijakan hukum ini tetap dipertahankan, jangan disesali kelak nanti semakin banyak orang berkeinginan melakuan tindak kejahatan luar biasa.
Dampaknya, penyebaran dan pelaku Narkotika semakin marak, korupsi terjadi di seluruh lini pemerintahan, dan aksi teroris meningkat. Sebaliknya, jika putusan sudah berkekuatan hukum tetap, dan segera dilaksanakan eksekusi, maka akan menekan angka kejahatan luar biasa tersebut. Setidaknya ada efek jera.
Di China, setiap tahun puluhan koruptor dieksekusi mati. Dan ratusan terpidana dihukum mati lantaran kasus kejahatan luar biasa. Bahkan menurut Amnesty Internasional, negeri panda itu lebih banyak menghukum mati penjahat dibandingkan negara lain. Media Statista melaporkan, pada 2020 sedikitnya 1.000 terpidana mati dieksekusi.
Itulah kebijakan pemerintah China terhadap kejahatan luar biasa. Menurut riset Transparency International, proses hukum tersebut berhasil menekan angka korupsi dan kejahatan luar biasa lainnya hingga 84 persen. Jika hal itu diterapkan di Indonesia, percayalah akan membuat efek jera.
Stefanus Gunawan, SH, H.Hum Tercatat Penasehat Hukum Tabloidskandal.com
Apakah KUHP Nasional itu dapat dimanfaatkan terpidana mati mencari celah hukum agar nyawanya tak lagi cabut?
Apa yang nggak bisa terjadi di negeri ini. Urusan memanfaatkan sesuatu, paling banyak dilakukan, dan disukai. Yang penting ada cuan, dan menghasilkan, tak peduli menabrak ketentuan hukum.
Apalagi cuma sekedar menilai seseorang, baik atau buruk. Itu kan sifatnya subyektif, terlebih yang dinilai terpidana yang secara fisik diisolir, tetap berada dalam tahanan, yang oleh banyak orang tak mungkin diketahui secara persis tindak tanduknya. Pokoknya, rentan terhadap penyalahgunaan. Ya, seperti diketahui, tak sedikit oknum petugas di rumah tahanan dicopot lantaran penyalahgunaan jabatan dengan memanfaatkan sesuatu untuk memperkaya diri sendiri.
Terkait petimbangan selama masa percobaan 10 tahun, patut dipertanyakan, siapa yang bertanggung jawab dalam hal menyikapi perubahan sikap terpidana mati? Kemudian, bukan mustahil formalitas hasil penilaian perubahan sikap itu berharga mahal, mengingat landasannya adalah status hukuman. Bagaimana menurut Anda?
Ya, penilaian berkelakuan baik itu dikhawatirkan sebagai formalitas saja. Oleh oknum akan dimanfaatkan demi cuan, surat formalnya diperjual belikan dengan harga mahal. Apalagi kontennya perubahan status pidana, dari hukuman mati jadi seumur hidup.
Siapa yang bisa menjamin kalau hasil penilaian perubahan sikap terpidana mati tidak diperjual belikan? Ini yang dikhawatirkan. Seperti saya tegaskan tadi, apa yang nggak bisa terjadi di negeri ini. Banyak pihak akan memperebutkan posisi sebagai penilai pertimbangan sikap terpidana mati karena itu ladang gemuk.
Dalam konteks ketentuan pada Pasal 100 dan Pasal 101 UU No.1 Tahun 2023 tentang KUHP Nasional, kembali saya katakan, akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Karenya harus dicabut. Rawan penyelewengan. Meski pemerintah membentuk suatu lembaga pengawasan dan pertimbangan sikap terpidana mati selama masa percobaan 10 tahun, modus penyalahgunaan wewenang pasti akan terjadi..
Saya tegaskan, kepastian hukum harus diterapkan untuk memberikan kepercayaan kepada masyarakat. Salah satunya, hukuman yang sudah berkekuatan hukum tetap harus dilakukan eksekusi, jangan ditunda-tunda pelaksanaannya sampai batasan waktu yang tidak jelas.
Yakinlah, perubahan status dari hukuman mati jadi seumur hidup, bagi pelaku Narkoba dan korupsi, sangat menguntungkan. Bagi oknum penilai Pasal 100 ayat (4), ketentuan hukum ini menambah pundi uangnya. Jadi, hukuman mati berubah seumur hidup, ketentuan hukum keliru.