Oleh : Tri Joko Susilo.SH
Ketua Umum Perisai Berkarya
Sebagai Ketua Umum DPP Perisai Berkarya, saya pribadi menilai pernyataan Ahmad Basarah yang menyebut Presiden ke-II H.M Soeharto seperti memercik air ke muka sendiri.
Alasannya, selain tidak memiliki dasar hukum yang kuat, sebutan itu lebih tepatnya ditujukan kepada PDI-P sendiri, pengusung utama Presiden Jokowi ke Istana Merdeka.
Sebab, siapa sih yang tidak tahu PDI-P? Mereka menyebut sebagai partai reformis, namun faktanya kader-kader PDI-P paling banyak diciduk sebagai koruptor oleh KPK. Buat saya ini sebuah paradok.
Mau tahu buktinya? Ada sederet nama-nama Kepala Daerah yang diciduk masuk ke Hotel Prodeonya. Mereka menjadi “juara pertama” soal korupsi, sebuah predikat yang bertentangan sebagai pembela wong cilik.
Lagi-lagi fakta yang berbicara. Sejak tahun 2000 sampai Juli 2018, tercatat ada 12 Kepala Daerah asal PDI-P di Jateng yang ditangkap KPK.
Sementara di 2018 ini, dari 19 Kepala Daerah yang terkena OTT KPK, PDI-P menempatkan terbanyak. Ada 7 Kepala Daerah yang dicokok, 5 dari Golkar, 1 dari Nasdem dan sebagainya.
Mereka diciduk, tentu sesuai dengan bukti-bukti yang ditemukan KPK. Pasti ada landasan hukum. Jadi tidak sembarang KPK melakukan OTT.
Jujur, saya tidak membayangkan baru seumur jagung berkuasa saja, korupsi di partai lambang banteng moncong putih itu saja “meratulela”. Itupun terbatas, hanya baru Bupati dan Walikota.
Pertanyaannya, bagaimana kalau 32 tahun kayak Pak Harto berkuasa? Wah, terserah pembaca menilainya.
Belum lagi kasus-kasus korupsi politisi PDIP di parlemen. Dari mulai traveler check Miranda Goeltom, kasus E-KTP, hingga kasus-kasus lainnya. Semua menambah dafar "legitimated" PDI-P partai terkorup.
Semua itu, buat saya, menunjukkan para politisi di Senayan, termasuk PDI-P tidak amanah pada reformasi.
Ahmad Basarah
Kondisi tersebut, menurut saya, bertolak belakang dengan sebutan H.M Soeharto sebagai guru korupsi. Penyebutan itu hanya asumsi-asumsi saja tanpa ada dasar ketetapan hukum.
Harus Fair
Sementara sisi baik Pak Harto kok tidak dilihat, seperti keberhasilan Soeharto dalam swasembada beras, meningkatkan kesejahteraan petani dan distribusi pupuk yang murah, membangun infrastruktur irigasi dan waduk, repelita,mempunyai satelit palapa hingga sebagai Bapak Pembangunan Nasional.
Buat saya, kita harus fair-lah. Jangan hantam kromo. Saya sependapat dengan Sekretaris Jenderal Partai Berkarya, Priyo Budi Santoso, tudingan Ahmad Basarah sangat keji, membelokan sejarah kepemimpinan bangsa.,orang ini asal jeplak saja.
Seharusnya, korupsi stadium 4 itu kan dilontarkan oleh Pak Prabowo,. Kok yang diserang Pak Harto. Jawab saja dengan data, atau buktikan tudingan Pak Prabowo itu salah. Kok nyerempet-nyerempat ke Pak Harto yang tidak ada kaitannya dengan Pilpres. Di sini saya benar-benar mangkel.
Saya menduga, tudingan itu kemungkinan hanya untuk meredam kerinduan masyarakat terhadap eranya Soeharto yang serba murah dan tercukupi pangan.
Maklumlah, sampai saat ini, reformasi belum optimal meningkatkan taraf hidup, bahkan NKRI terancam terkoyak, sehingga rakyat pun rindu dengan eranya Pak Harto. Makanya, agar Soehartoisme tidak bangkit, maka dibunuhlah karakter Pak Harto dengan keji sebagai guru korupsi.
Karena itu, sebagai organisasi sayap Partai Berkarya, Perisai Berkarya merasa tersakiti. Ormas ini melaporkan ke polisi soal penyebutan tersebut, termasuk tudingan Sekjen PSI, Raja Juli Antoni, yang menyebut Soeharto symbol KKN.
Sampai kapan pun laporan itu terus kami kawal. Kami, Perisai Berkarya, jihad konsitusi mengangkat marwah dan harga diri partai kami. Buat saya, ini sebuah keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar, demi melanjutkan cita-cita Founding Father negeri ini.