DUNIA pendidikan kita saat ini menghadapi dua tantangan yang serius, yakni perubahan perilaku sosial dan perilaku individual yang merusak nilai-nilai adiluhung bangsa.
PERTAMA, politik, terutama pilkada dan pilpres telah banyak mengubah karakter dan perilaku sosial kita. Karakter agung masyarakat kita yang relijius, jujur, toleran atau saling menghormati, kalem, dan murah senyum.
Dalam pergaulan sehari-hari, terutama di dunia media social, sifat-sifat itu terasa semakin menjauh. Masyarakat kita menjadi semakin mudah marah, mudah menghina dan mengejek, mudah menyalahkan orang lain, dan agresif menyerang pihak lain yang bersebarangan atau berbeda pilihan politiknya.
Perubahan sifat itu menjadi semakin mengkahwatirkan dengan maraknya penyebaran infomasi tanpa klarifikasi, tanpa mencari sumbernya yang sering kali berupa informasi palsu, bohong (hoax) dan ujaran kebencian (hate speech) antar sesama. Inilah kenyataan kontestasi politik di era post truth yang didukung oleh kemajuan teknologi informasi dalam dunia medsos.
Paling mengagetkan, semua pelakunya menurut berbagai survei, tidak terkait dengan tingkat usia maupun pendidikan. Banyak riset dan survei menemukan bahwa tingkat pendidikan tidak banyak mempengaruhi kontrol diri pelaku dengan tingkat pendidikan tinggi.
Siapa saja yang memegang gawai (gadget) dan aktif di media sosial sangat berpotensi melakukan tindakan tak terpuji tersebut. Bahkan, tak terkecuali aktor-aktor penting dalam dunia pendidikan, seperti dosen, guru, mahasiswa dan pelajar.
Dunia pendidikan menghadapi kontradiksi sekaligus dilemma: satu isi praktik pendidikan yang sejatinya bertujuan untuk membentuk manusia yang cerdas dan berakhlak mulia; sementara di sisi yang lain menumbuhkan perilaku sosialyang merusak tujuan-tujuan mulai pendidikan tersebut.
KEDUA, selain perilaku sosial, dunia pendidikan kita juga menghadapi problem perilaku individual yang serius, yakni lunturknya sifat tata krama atau pola relasi yang baik antar peserta didik (siswa) maupun antara peserta didik dengan guru. Kasus-kasus bullying antar siswa yang sering terjadi akhir-akhir ini dan juga kasus-kasus kekerasan dalam hubungan siswa dan guru menjadi kenyataan mengecewakan dalam praktik pendidikan kita.
Atas masalah-masalah itulah, IKA UNJ sebagai perkumpulan lulusan kampus kependidikan yakni IKIP/UNJ yang telah menghasilkan lebih dari 100.000 alumni memiliki tanggung jawab moral untuk ikut mengingatkan dan mengajak kembali semua insan pendidikan untuk mengembalikan sifat-siat adiluhung bangsa Indonensia.
Dalam momentum Hari Pendidikan Nasional tahun 2019 yang yang kita peringati setiap tanggal 2 Mei ini, IKA UNJ menawarkan upaya-upaya pengembalian karakter adilluhung itu. Pertama, pemerintah dan masyarakat harus berani membersihkan kampus, sekolah, madrasah dan lembaga-lembaga pendidikan dari orang-orang yang melencengkan arah dan tujuan pendidikan nasional.
Kedua, sebagaimana ditegaskan dalam UU Pendidikan nasional, asupan informasi dan pengetahuan serta penanaman nilai-nilai kepada peserta didik harus berlandaskan pada Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Sehingga, jika ada asupan materi yang melenceng dari landasan tersebut, termasuk asupan dari ideologI transnasional yang merusak harus ditolak.
Ketiga, mengajak masyarakat pendidikan Indonesia untuk tidak menyalahgunakan jargon “kebebasan akademik’ untuk tujuan-tujuan yang merusak karakter bangsa yang adiluhung. Kebebasan akademik harus diarahkan untuk memperkuat karakter, jatidiri bangsa untuk mencetak generasi dan bangsa yang unggul. (Ril)