Banyak Kepala Daerah Ditangkap, Bukti Pejabat Tak Takut KPK
Minggu, 23 Januari 2022 | Dilihat: 542 Kali
Penulis: Fthonie AG – Jurnalis
Editor : H. Sinano Esha
Ada ungkapan yang cukup menarik, yakni: “Musim Hujan Silih Berganti Musim Kemarau” dan”'Koruptor Tak Baca Media Atau Tak Takut Di tangkap KPK?” Artinya, banjir pasti akan berlalu, namun para koruptor tak takut malu.
Bayangkan saja, berdasarkan data yang ada di situs KPK, sejak lembaga anti-rasuah itu berdiri, ada 167 kepala daerah terjerat proses hukum di KPK. Terdiri dari 22 gubernur dan 145 bupati/wali kota. Di antaranya: Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan (2009), Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah (2013), Gubernur Riau Annas Maamun (2014), Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho (2015), Gubernur Aceh Irwandi Yusuf (2018), Gubernur Jambi Zumi Zola (2018), dan Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah (2021).
Hingga 1 Oktober 2021, KPK mencatat ada 141 bupati/wali kota, serta wakil bupati/wakil wali kota yang terkena penindakan; antara lain: Bupati Kutai Kertanegara Syaukani HR (2006), Wali Kota Bekasi Mochtar Mohamad (2009), Wali Kota Bandung Dada Rosada (2013), Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin (2014), Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari (2017).
Jumlah bupati/wali kota yang terkena penindakan KPK bertambah empat sejak 1 Oktober 2021 hingga saat ini. Sementara jumlah terbesar kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah terjadi pada 2018. Di mana KPK berhasil menjerat 2 gubernur dan 30 bupati/wali kota.
Adapun sejumlah nama kepala daerah populer yang terjerat kasus korupsi di KPK, antara lain: Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan (2009), Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah (2013), Gubernur Riau Annas Maamun (2014), Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho (2015), Gubernur Aceh Irwandi Yusuf (2018), Gubernur Jambi Zumi Zola (2018), dan Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah (2019).
Dan, kepala daerah populer yang dijerat KPK, antara lain: Bupati Kutai Kertanegara Syaukani HR (2006), Wali Kota Bekasi Mochtar Mohamad (2009), Wali Kota Bandung Dada Rosada (2013), Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin (2014), dan Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari (2017).
Suatu fenomena yang dianggap sudah membudaya karena berkorelasi dengan tingginya biaya politik, terutama uang yang keluar saat pemilihan kepala daerah atau pilkada.
Berdasarkan pemberitaan yang dilansir Kompas.id, dan hasil kajian Litbang Kementerian Dalam Negeri pada Pilkada 2015 menunjukkan, biaya yang dikeluarkan untuk memenangkan kontestasi pemilhan bupati/wali kota berkisar antara Rp 20 miliar hingga Rp 30 miliar. Sementara untuk pilgub, jumlahnya jauh lebih tinggi, berkisar Rp 20 miliar hingga Rp 100 miliar.
Biaya politik itu jauh lebih besar daripada gaji rata-rata kepala daerah yang berkisar Rp 5 miliar selama satu periode. Sehingga, Ketua KPK Firli Bahri pernah mengatakan bahwa berdasarkan data KPK pada 2020, 82,3 persen biaya pilkada masih berasal dari donatur atau sponsor.
Para calon kepala daerah, menurut dia, membutuhkan sokongan dana dari pihak ketiga karena harta yang mereka miliki tidak mencukupi untuk mengikuti kontestasi pilkada.
Hal tersebut "sejalan" dengan pengungkapan dan analisis Almas Sjafrina dari Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam artikel "Dampak Politik Uang terhadap Mahalnya Biaya Pemenangan Pemilu dan Korupsi Politik": bahwa memang ada korelasi antara korupsi politik dengan pendanaan pemilu.
Sejumlah kasus yang diperlihatkan, antara lain: kasus yang menjerat Wali Kota Tegal Siti Masitha Soeparno, Bupati Buol Amran Batalipu, Bupati Klaten Sri Hartini, hingga sejumlah anggota DPR yang dananya akan digunakan dalam pilkada.
Berdasarkan dokumentasi Harian Kompas, kasus korupsi pertama yang ditangani KPK terkait keterlibatkan gubernur tercatat pada 2004. Saat itu, Gubernur Nangroe Aceh Darussalam Abdullah Puteh terjerat dugaan suap pengadaan helikopter.
Adapun, bupati/wali kota pertama yang terjerat hukum oleh KPK ialah Bupati Dompu Abubakar Ahmad yang jadi tersangka pada 16 Juni 2006. Dia terjerat korupsi penyalahgunaan dana APBD sebesar Rp 4 miliar.
Kasus OTT terbaru yang dilakukan KPK menjerat tiga kepala daerah, yaitu: Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi, Bupati Penajam Paser Utara Abdul Gafur Mas'ud, dan Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin-angin.
KPK menangkap Bupati Rahmat Effendi pada 5 Januari 2022 di Kota Bekasi, Jawa Barat, atas dugaan suap pengadaan barang dan jasa serta lelang jabatan.
Abdul Gafur Mas'ud ditangkap di sebuah mal di Jakarta Selatan pada 13 Januari 2022. Dia dijerat KPK atas dugaan suap terkait pengadaan barang dan jasa serta perizinan di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.
Sementara penangkapan Bupati Terbit Rencana Perangin-angin pada 18 Januari 2022, kasusnya pun serupa, yakni dugaan suap pengadaan proyek.
Dan sebelumnya, kepala daerah lain yang terjerat proses hukum di KPK adalah Bupati Musi Banyuasin Dodi Reza Alex Noerdin. KPK telah menetapkan dia sebagai tersangka terkait dugaan suap infrastruktur di wilayahnya pada 16 Oktober 2021.