Saumlaki, Skandal
Sekitar 200 orang yang berasal dari Forum Masyarakat Fandersyaur Sangliat Krawain (Sangkra), Kecamatan Wertamrian, Kabupaten Kepulauan Tanimbar berdemonstrasi di depan kantor Pengadilan Negeri (PN) Saumlaki, Senin (24/6/2019).
Pendemo mendatangi Pengadilan Negeri Saumlaki guna menyampaikan permohonan penundaan pelaksanaan eksekusi Wilayah Petuanan Desa Arui Bab dengan Sangliat Krawain terkait akan dilakukannya eksekusi lahan sengketa Perkara Perdata Nomor : 51/ Pdt. G/ 2015/ PN Sml oleh PN Saumlaki pada tanggal 25 Juni 2019.
Dalam aksi yang berlangsung pukul 13.48 WIT ini, massa pengunjuk rasa yang tiba di depan Kantor PN Saumlaki langsung menyampaikan tuntutan penundaan eksekusi.
Mereka meminta PN Saumlaki untuk turun dan melakukan peninjauan kembali pada titik - titik sengketa yang telah diputuskan.
Meminta PN Saumlaki melihat secara netral keputusan eksekusi yang telah dikeluarkan karena keputusan Raad Van Hofden merupakan keputusan sepihak, sehingga meminta pengadilan untuk adil dalam membuat keputusan.
Selain itu, PN Saumlaki djminta untuk turun ke lokasi Kerlun yang jaraknya sekitar 32 km, dan tidak hanya berdiri pada lokasi yang jauh lalu menentukan titik-titik yang akan di Eksekusi.
Lalu meminta PN Saumlaki menerima tuntutan tertulis untuk mempertimbangkan dan mengagendakan kembali keputusan yang dikeluarkan sehingga keluarnya keputusan baru secara cermat dan tepat.
Tepat pukul 14.46 WIT, dilakukan pertemuan bersama antara Ketua PN Saumlaki Ronald Lauterboom, SH dengan perwakilan pengunjuk rasa yang dihadiri Kapolres MTB AKBP Andre Sukendar, SIK, Wakapolres MTB Kompol Lodevicus Tethool, SH, MH serta Panitera pengadilan Arthus Larwuy.
Hadir dalam pertemuan itu, Paulinus Batlayeware, Leberatus, Agustinus Rahanwarat, Yohanes Silan, Cosmas Kelitadan, Yermias Awear, Agapitus Melwatan dan Emerenciana Kelitadan.
Ketua PN Saumlaki Ronald Lauterboom, SH menyatakan bahwa secara hukum, setiap keputusan eksekusi harus dilakukan secara kemanusiaan dan itu sudah dilakukan dari November 2018 sampai dengan saat ini dalam kurun waktu tujuh bulan.
“Toleransi yang diberikan sudah sangat banyak dengan maksud agar ada upaya lain atau solusi yang lain disamping hukum yang dijalankan, tetapi kesempatan tersebut tidak diambil oleh pihak tergugat,” bebernya.
Setelah dilakukan eksekusi masih ada kesempatan untuk mengajukan gugatan dengan dasar yang kuat dan tidak tentang pokok perkara, tetapi hanya menyangkut batas tanah.
“Pada permasalahan ini secara hukum adat masih mengandung pemisahan secara horisontal sehingga amar putusan dipelajari dengan baik karena pada saat eksekusi hanya tanah yang dieksekusi tetapi tanaman umur panjang dan umur pendek tidak dieksekusi,” tegas Lauterboom.
Adapun Korlap yang bertindak melakukan penyampaian tuntutan, di antaranya Heri Rumaf, Kosmas Kelitadan, Paul Batlayaware, Yohanis Silan dan Agustinus Rahanwarat.
Sayangnya permintaan pendemo, tidak dapat dikabulkan dan eksekusi tetap berjalan pada Selasa, 25 Juni 2019. (MI)