Pokok Pikiran DPC GAMKI Soal Potensi Maluku Tenggara
Sabtu, 10 Agustus 2019 | Dilihat: 858 Kali
KABUPATEN Maluku Tenggara dengan luas wilayah kurang lebih 4 ribu km persegi. Luas darat sekitar seribu km persegi dan luas lautan sekitar 3 rb km persegi. Terdiri dari 192 ohoi atau desa yg hampir semuanya kberada di pesisir atau memiliki akses dan bergantung pada sumberdaya alam laut.
Pemerintah kabupaten dalam RPJMD 2018-2023 menetapkan sektor perikanan dan pariwisata sebagai leading sektor penggerak roda ekonomi dan daya saing daerah. Keberadaan masyarakat adat dan kearifan lokalnya di wilayah pesisir kab. Maluku Tenggara menjadi modal sosial (social capital) yg sangat diharapkan dapat menjaga dan memanfaatan sumberdaya alam pesisir dan lautnya secara berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat sekarang dan akan datang.
Di sisi lain dengan diberlakukan UU nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah, di mana kewenangan/tanggung jawab pengelolaan ruang laut sejauh 12 mil seluruhnya diserahkan kepada pemerintah provinsi, mengakibatkan terjadinya perlambatan yang sangat signifikan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam pesisir dan laut.
Di satu sisi Pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara tidak bisa melakukan intervensi program dan kegiatan kelautan dan perikanan yang komprehensif dalam upaya mengurangi kemiskinan dan mensejahterahkan masyarakat, termasuk juga upaya melestarikan SDA laut dan pesisir. Tapi di sisi lain pemerintah provinsi memiliki keterbatasan dalam hal kualitas/kuantitas personil, anggaran dan sarpras dalam mengelola ruang laut provinsi Maluku.
Maluku Tenggara sesuai dengan kepres no 6 tahun 2017 merupakan pulau terluar sekaligus wilayah perbatasan RI. Namun sampai saat ini belum ada intervensi dari pusat. Telor ikan merupakan salah satu potensi perikananan
Kondisi saat ini ratusan kapal dari Sulawesi datang ke Maluku Tenggara untuk pengambilan potensi dimaksud, tanpa memperhitungkan daya dukung dan dapat menimbulkan konflik sosial.
Faktanya, di wilayah Kabupaten Maluku Tenggara marak terjadi aktifitas perikanan merusak dan over exploitatif yang nyaris tidak bisa direspon oleh Pemkab karen sudah bukan kewenangannya, tetapi dampak negatif dari kerusakan tersebut sangat dirasakan oleh masyarakat Maluku Tenggara dan pemerintah kabupaten yang sedang gencar-gencarnya membangun sektor perikanan dan wisata bahari yang menjadi leading sektor kabupaten.
Ketiadaan sinergitas yang sistematis dan terstruktur antara Pemprov dan Pemkab makin menambah suram pembangunan sektor kelautan dan perikanan di Maluku termasuk di Kab. Maluku Tenggara.
Padahal telah ada PP 28 tahun 2018 tentang kerjasama antar daerah yg telah disiapkan oleh pemerintah pusat sebagai aturan turunan implementasi UU 23 tahun 2014. Sekiranya PP 28 bisa menjembatani kepincangan koordinasi dan sinergitas terkait pengelolaan ruang laut di provinsi kepulauan ini,
Maluku Tenggara memiliki kawasan konservasi perairan daerah (KKPD) pertama dan satu-satunya di provinsi Maluku yg telah ditetapkan dengan SK Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 6 tahun 2016, 5 februari 2016.
KKPD seluas 150.000 ha ini terletak di pesisir barat kei kecil ini diinisiasi oleh Pemkab Maluku Tenggara dan WWF Indonesia sejak tahun 2009, jauh sebelum UU 23 tahun 2014 didengungkan.
Dengan berlakunya UU 23 tahun 2014, maka secara otomatis pengelolaan KKPD ini yang tadinya berada di Pemkab Maluku Tenggara dialihkan pengelolaan kepada Pemprov. Saat ini KKPD ini menjadi kawasan konservasi tanpa lembaga pengelola. Ini berdampak pada banyak terjadinya praktek destruktif fishing seperti bom ikan dan juga pengambilan spesies laut dilindungi.
Padahal KKPD ini menjadi pusat dari destinasi wisata bahari yang menjadi andalan Maluku Tenggara (ngurbloat, ngurtavur, pulau 10, pulau 5, dll). Ini jika tidak segera ditangani maka akan mengancam pembangunan wisata bahari dan juga sektor perikanan di daerah ini.
Kepulauan Kei memiliki potensi perikanan ikan terbang yg sangat potensial yang tersebar di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 718 Laut Arafura dan 714 Laut Banda. Dari 15 spesies ikan terbang yang ada di Indonesia, terdapat 10 spesies ikan terbang yg dapat ditemukan di wilayah Kepulauan Kei.
Potensi lestari perikanan ikan terbang di daerah ini mencapai 85 ton per tahun. Ini potensi yg besar yang jika dikelola dengan baik diharapkan dapat mengangkat tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah ini dan mengurangi angka kemiskinan, sekaligus meningkatkan daya saing daerah ini.
Faktanya keberadaan nelayan andon (tanpa kerjasama/MOU antar kepala daerah) dari Sulawesi yang melakukan aktifitas pengambilan telur ikan terbang di daerah ini sejak 2013 an telah menyebabkan terjadinya degradasi sumberdaya ikan terbang yang sangat drastis, dan mengancam kelestariannya di daerah ini, (sprt kerusakan sumberdaya ikan terbang yang terjadi di wilayah indonesia bagian barat dan tengah).
Di sisi lain pemerintah kabupaten lagi lagi tidak memiliki kewenangan terkait penanganan dan penindakan terhadap kondisi ini. Lagi lagi masyarakat perikanan dan pesisir di daerah ini yang akan menanggung semua akibat dari degradasi sumberdaya yang terjadi.
Padahal jika dikelola dengan baik, aktifitas pengambilan telur ikan terbang secara tradisional yang dilakukan oleh masyarakat Kei dapat juga dijadikan sebagai salah satu atraksi wisata unik/minat khusus yg menjadi daya tarik dan kekhasan pariwisata Kei