Neta S Pane, Ketua Presidiun Indonesia Police Watch menilai kekacauan di Rutan Brimob yang menyebabkan lima polisi tewas merupakan tamparan keras buat Brimob, Densus 88 dan Polri. Sebab peristiwa tragis ini terjadi di markas pasukan elit kepolisian.
Dalam rilisnya yang disebar ysng diterima media ini tadi malam, Neta juga mempertanyakan kenapa Polri begitu lamban dalam mengungkapkan secara transparan kerusuhan di Rutan Brimob, terutama ten tang tewasnya lima polisi. Padahal, mereka tewas sejak pukul 01.00 dinihari, tapi diumumkan pada pukul 16.00.
"Sebelumnya kepolisian selalu mengatakan tidak ada korban tewas dalam kekacauan itu. Sikap polisi yang tidak transpan ini sangat aneh," papar Meta.
Sampai Rabu malam ini polisi selalu mengatakan situasi sudah terkendali. Tapi faktanya Rutan Brimob masih dikuasai tahanan teroris dan masih ada polisi yang disandera. Selain itu 165 tahanan teroris masih menguasai sekitar 30 senpi yang sebagian besar laras panjang dan 300 amunisi.
Sementara polisi belum berhasil memutus komunikasi para tahanan teroris dengan jaringan mereka di luar. "Sangat disayangkan kenapa para tahanan teroris itu bisa memiliki hp selama di tahanan," tambahnya.
Karena itu, IPW khawatir jika kepolisian bertindak gegabah, para tahanan teroris tersebut akan kembali menghabisi polisi yang menjadi sandera. Lalu mereka melakukan serangan bunuh diri. Makanya IPW berharap kepolisian bisa bertindak profesional agar anggotanya tidak kembali menjadi korban keberutalan teroris.
"Jika polisi kembali tewas dalam peristiwa kekacauan di Rutan Brimob, para teroris merasa akan mendapat kemenangan besar. Inilah yang harus dicegah kepolisian," tutur Neta.
Dia menilainya sangat ironis, di saat Kapolri sedang berada di Jordania membuka pameran dan bicara tentang keberhasilan Indonesia memberantas terorisme, justru Rutan Brimob tempat teroris ditahan menjadi kacau oleh para teroris yang berhasil membunuh lima polisi.(jaks)