Prof. Dr. Suhandi: Pengakuan PC Pemicu Pembunuhan Brigadir J
Rabu, 15 Februari 2023 | Dilihat: 591 Kali
Prof. Dr. Suhandi Cahaya, SH, MH, MBA
JAKARTA, tabloidskandal.com ll Dari fakta-fakta yang terungkap di persidangan, para terdakwa yang terlibat kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J, terbukti melanggar Pasal 340 KUHP, serta tiga unsur doktrin tentang pertanggungjawaban pidana.
Pakar hukum pidana yang juga dosen di beberapa perguruan tinggi dalam dan luar negeri, Prof. Dr. Suhandi Cahaya, SH, MH, MBA menegaskan, bahwa putusan mati terhadap Ferdy Sambo (FS), serta penambahan jumlah sanksi hukuman bagi Putri Candrawathi (PC), Bripka Ricky Rizal (Bripka RR), dan Kuwat Ma’ruf karena terbukti terlibat langsung kasus pembunuhan tersebut.
Sepertinya, menurut advokat senior ini, dijatuhkannya hukuman mati dan penambahan sanksi pidana, karena Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) yang mengadili tidak melihat adanya celah hukum yang dapat meringankan para pelaku.
“Celah hukum yang dimaksud, yaitu mengakui perbuatan, meminta maaf, menyesali perbuatan, keterangan di persidangan tidak berbelit-belit, dan tidak menyulitkan persidangan. Jika itu dilakukan, tentu majelis hakim akan mempertimbangkan keringanan hukuman. Tapi, nampaknya, hal itu tidak diperlihatkan oleh para pelaku selama persidangan. Sekalipun mereka selalu tampil santun, namun majelis hakim tak menilainya sebagai keringanan hukuman, ” ungkapnya kepada wartawan, Rabu (15/2/2023).
Dalam kasus itu, lanjutnya, cukup beralasan apabila para pelaku dijatuhkan hukuman mati, dan ditambah jumlah sanksi pidana dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) sebelumnya. Menurut penilaian majelis hakim, para terdakwa selalu memberikan keterangan berbelit-belit, serta menyulitkan jalannya persidangan.
Majelis hakim pada putusannya menerangkan, Ferdy Sambo semula dituntut seumur hidup jadi hukuman mati. PC dituntut 8 tahun, divonis 20 tahun. Kuwat Ma’ruf dari 8 tahun lalu diganjar 15 tahun, sedangkan Bripka RR awalnya 8 tahun ditambah jadi 12 tahun.
Menurut Prof. Dr. Suhandi Cahaya, hukuman yang dijatuhkan majelis Hakim PN Jaksel sudah tepat dan layak bagi pelaku kejahatan manusia yang notabene terencana, serta penuh strategis untuk menghindari ancaman sanksi hukuman. Sebagaimana yang dilakukan Ferdy Sambo dkk terhadap kasus pembunuhan Brigadir J.
“Majelis hakim menetapkan perbuatan Ferdy Sambo dkk terbukti melanggar Pasal 340 KUHP, menurut hemat saya, itu cukup layak. Unsur doktrin tentang pertanggungjawaban pidana harus mereka pikul,” kata ahli hukum pidana dari Asosiasi Advokat Indonesia (AAI).
Unsur doktrin yang dimaksud, yaitu adanya kesengajaan (opzet), perbuatan pidana (actheus rheus), dan niat jahat (men s rhea). Ini semua harus dipertanggungjawabkan secara hukum. Tidak bisa tidak. Apalagi menyangkut nyawa manusia, yang direngut secara kejam di luar rasa kemanusiaan.
Mala Petaka
Pada bagian lain, Prof. Dr. Suhandi mengingatkan, sumber mala petaka dalam kasus tersebut adalah pernyataan PC yang mengaku dilecehkan secara seksual oleh almarhum Brigadir J di rumah Ferdy Sambo di Magelang, Jawa Tengah, Kamis (7/7/2022).
Pengakuan terkait pelecehan seksual itu sendiri, jelasnya, dapat dikategorikan pelanggaran azas causaliteit von bury, atau azas sebab akibat. Secara psikologis, mendengar itu, Ferdy Sambo sebagai suami, tentu saja emosi. Marah besar. Wajar jika kemudian muncul pikiran untuk memberi pelajaran terhadap Brigadir J, yang dalam posisi kedinasan di Kepolisian adalah bawahannya.
“Namun sayang, niat dia (Ferdy Sambo) berlebihan, yakni mengatur strategi untuk menghabisi Brigadir J. Di mana kemudian, pembunuhan terencana itu melibatkan orang lain, termasuk juga menyeret hampir seratus anggota polisi ke jurang sanski profesi,” kata Prof. Dr. Suhandi, yang juga berprofesi korator.
Pengakuan itupun akhirnya di kesampingkan oleh majelis hakim, mengingat tidak ada bukti secara hukum atas pelecehan seksual yang dilakukanBrigadir J terhadap istri Ferdy Sambo. Juga, bukan sesuatu yang dapat dikategorikan delik hukum.
“Tentang sanksi yang cukup berat itu, sebagai ahli pidana, saya menilai majelis hakim punya alasan hukum. Saya sependapat, karena itu adalah pembunuhan berencana, sanksi hukumnya sesuai ketentuan perundangan. Namun, sayangnya, dalam putusan tak sedikitpun dipertimbangkan pengabdian Ferdy Sambo selama 28 tahun sebagai polisi. Setidaknya, ada jasa yang ditoreh di institusi kepolisian,” paparnya.
Prof. Dr. Suhandi tidak sependapat kalau putusan tinggi Majelis Hakim PN Jaksel terhadap Ferdy Sambo dkk lantaran adanya tekanan publik. Justru, sepertinya, pada kasus ini Hakim Wahyu Iman Santoso berusaha mengembalikan citra kehakiman dan pengadilan yang belakangan ini terpuruk akibat ulah segelintir oknum hakim dan panitera pengadilan.
“Selain itu, Hakim Wahyu ingin memperlihatkan, bahwa tidak ada yang kebal hukum di negeri ini. Seorang jenderal bintang dua pun (Ferdy Sambo), jika terbukti melanggar hukum, ya, mesti dihukum. Hukuman mati pula,” pungkas. (Ajie Jahrudin)