Prof. Dr. Suhandi Cahaya: Bahaya Jika Kepolisian Teracuni Cruelty by Order
Sabtu, 17 Desember 2022 | Dilihat: 172 Kali
Prof. Dr. Suhandi Cahaya, SH, MH, MBA - PN Palembang (foto istimewa)
JAKARTA –Tabloidskandal.com ll Dalam kurun waktu setahun berjalan, Oktober 2021 – Oktober 2022, citra polisi menurun tajam. Yakni, dari 78,5% menjadi 48,5%. Apakah hal ini karena kesalahan pendidikan, atau barangkali moral kebanyakan oknum polisi yang sudah rusak.
Pakar hukum pidana yang juga dosen pada Universitas Jayabaya (Jakarta), Prof. Dr. Suhandi Cahaya, SH, MH, MBA menyampaikan hal itu terkait citra kepolisian semakin buruk. Ditambah lagi adanya aksi mantan jenderal polisi Ferdy Sambo (Inspektur Jenderal) diduga menembak tewas anggota polisi Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J. Tragedi berdarah itu banyak melibatkan oknum polisi lainnya.
Jika kenyataannya seperti itu, Prof. Dr. Suhandi Cahaya yang juga kurator dan konsultan HKI (hak kekayaan intelektual) mempertanyakan, apakah aparat penegak hukum seperti polisi dapat melindungi warga negara dari tindak kejahatan.
“Terlebih lagi aksi kriminal terjadi di mana-mana, dilakukan secara brutal dan seakan tak takut atas sanksi hukumnya. Yang memprihatinkan, polisi (oknum) melakukan tindakan cruelty by order, yaitu upaya yang kurang mencerminkan rasa keadilan. Saya menduga, aksi ini terjadi dibanyak daerah,” papar advokat senior anggota Asosiasi Advokat Indonesia (AAI).
Menurut Prof. Dr Suhandi Cahaya, tindakan cruelty by order diduga terjadi adanya pesanan orang lain kepada oknum polisi untuk melakukan proses yang semestinya tidak dilakukan oleh aparat hukum.
“Tindakan oknum polisi seperti itu, selain meresahkan, juga merugikan masyarakat kecil. Sebagai advokat, saya punya pengalaman atas modus tersebut,” ujarnya kepada Nesa Magazine baru-baru ini.
Tindakan cruelty by order itu terjadi, lanjut dia, karena adanya laporan (delik) atas dugaan perbuatan pidana, padahal kasusnya adalah perdata. Ini biasanya pada sengketa tanah, atau hutang piutang.
Contoh Kasus
Terkait Tindakan cruelty by order, Prof. Dr. Suhandi mencontoh kasus yang terjadi pada kliennya: Dellya Gunawan (80) dan Hendra Kartikaganda Sutoyo (61). Dua warga Kota Palembang itu dilaporkan ke polisi dengan tuduhan menyuruh pihak lain memasukan keterangan pada dokumen pengurusan serifikat hak milik sebidang tanah di Desa Sako, Kecamatan Talang Kelapa, Palembang, Sumatera Selatan.
“Sekitar Agustus 2021 dua klien saya dilaporkan, dan dianggap telah merugikan pihak M. Rozali Yasin (alm). Namun, kepada penyidik saya sudah ingatkan, bahwa latarbelakang kasusnya adalah perdata, bukan pidana,” jelasnya.
Dikatakan, sebagai kuasa hukum dia mengingatkan polisi yang memproses dua kliennya itu, bahwa tidak mungkin perbuatan melawan hukum secara perdata dapat diproses pidana.
“Tapi, penyidik tak menggubrisnya. Laporan tetap diproses, sekalipun bukti-buktinya tidak falid. Untungnya dua klien saya tidak ditahan. Meski begitu, menurut saya, bahaya jika kepolisian diracuni cruelty by order. Kasihan rakyat kecil,” ungkap Prof. Dr. Suhandi.
Menurut pakar hukum pidana tersebut, bagaimana mungkin dugaan perbuatan melawan secara perdata dapat diproses pidana. Dan dipaksakan untuk tetap diadili. Untuk itu, dia menduga ada pihak yang mempengaruhi penyidik melakukan tindakan cruelty by order. Dengan kata lain, ada pihak merintahkan agar diproses secara pidana.
“Cilakanya, pihak kejaksaan pun ikut-ikutan. Berkas dari penyidik diteruskan ke Pengadilan Negeri (PN) Palembang untuk diproses persidangan. Lucunya lagi, klien saya ditahan,” kata Prof. Dr. Suhandi, yang juga jadi dosen di salah satu universitas Philipina.
Sekalipun barang bukti yang diperlihatkan di persidangan bersifat nihil, seluruhnya berupa foto copy, namun jaksa berkeyakinan terdakwa Dellya Gunawan dan Hendra Kartikaganda Sutoyo terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur pada Pasal 263 ayat (2) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
“Klien saya 0leh jaksa dituntut masing-masing satu tahun enam bulan, dan harus tetap berada di dalam tahanan. Di dalam pembelaan saya kemukakan, bahwa tidak cukup bukti menunut terdakwa yang tidak jelas kesalahannya. Sebab, selama persidangan, baik saksi-saksi yang dihadirkan, dan pembuktian lainnya, tak satupun bisa membuktikan bahwa para terdakwa melanggar ketentuan sebagaimana dakwaan jaksa,” urai Prof. Dr. Suhandi.
Dibebaskan Hakim
Akhirnya, lanjut dia, Majelis Hakim PN Palembang pimpinan Edi Saputra Palawi, SH, MH yang mengadili perkara tersebut menetapkan dalam putusannya, bahwa perkara tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana.
Karena itu, dalam amar putusan, majelis hakim membebaskan para terdakwa dari tuntutan hukum, dan memulihkan hak dan nama baik, serta harkat martabatnya.
Majelis hakim dalam pertimbangannya mengemukakan, tentang pengurusan surat pengakuan hak telah diserahkan kepada perangkat Kelurahan Sako, dan staf kantor Kecamatan Sako, Kota Palembang. Para terdakwa tidak pernah ikut campur terhadap proses administrasi atas terbitnya sertifikat hak milik atas tanah yang disengketakan.
“Dalam hal bukti, ada tandatangan yang dipalsukan, tapi bukan dilakukan oleh para terdakwa,” ungkap majelis hakim dalam amar putusannya.
Kasus yang menimpa Dellya Gunawan dan Hendra Kartikaganda Sutoyo, menurut pakar hukum pidana Prof. Dr. Suhandi Cahaya, banyak terjadi di negeri ini. Hanya saja tidak terungkap ke tengah publik. Modus ini adalah sesuatu yang dipaksakan. Kasarnya, yang penting pengaduan diproses, untuk putusannya terserah hakim yang mengadili.
“Saya menyimpulkan, ini adalah tindakan cruelty by order yang dilakukan oleh oknum polisi. Bagi saya, ini aneh bin ajaib, seorang penyidik mestinya hatam soal hukum, bukan lantas mempermainkannya. Muncul pertanyaan, apakah hal ini karena kesalahan pendidikan, atau barangkali moral kebanyakan oknum polisi yang sudah rusak,” pungkasnya. (Risnawati Maharaja)