Alexius: Gibran Cawapres, Relawan Jokowi Terpecah
Kamis, 26 Oktober 2023 | Dilihat: 716 Kali
Pemerhati Politik, Alexius Tantrajaya, SH, M.Hum - Prabowo - Gibran Capres/Cawapres (foto istimewa)
JAKARTA, tabloidskandal.com – Pemilihan Gibran Rakabuming Raka (GRR) menjadi calon wakil presiden (Cawapres), berpasangan dengan calon presiden (Capres) Prabowo Subianto (PS) tentunya telah diperhitungkan dengan berbagai pertimbangan, termasuk parameter hukum.
“Apalagi setelah putusan Mahkamah Kontitusi (MK) yang menimbulkan polemik di tengah masyarakat, pilihan itu tentunya memiliki pertimbangan dasar hukum, serta fakta-fakta hukum. Gerindra pastinya memikirkan hal itu lebih jauh,” papar praktisi hukum yang juga pemerhati politik, Alexius Tantrajaya, SH, M.Hum, kepada wartawan, seusai pasangan PS-GRR mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), Rabu (25/10/2023).
Menurut Alexius, polemik yang terjadi pasca putusan MK merupakan dinamika politik. Itu sudah lumrah. Terlebih lagi, yang dipersoalkan adalah ketentuan batas usia Capres/Cawapres 40 tahun. Sementara, sosok yang “dijual” untuk Pilpres 2024 baru berusia 35 tahun, dan anak presiden pula.
“Isyu yang mencuat adalah gosip negatif, tujuannya untuk menjatuhkan kredibilitas Presiden Jokowi, yang seolah-olah membangun dinasti kekuasaan di tengah keluarganya,” ungkap advokat senior ini.
Tapi, lanjutnya, sebagian masyarakat yang cerdas bisa menduga kalau isyu itu merupakan gorengan lawan politik Jokowi. Dan tidak banyak mempengaruhi. Malah semakin mantap pada pilihan, dan tidak terprovokasi oleh gonjang-ganjing yang notabene diciptakan.
Lainnya yang termakan provokasi, terutama di kalangan fanatisme Jokowi, secara prontal menolak pencalonan Gibran. Hal itu terlihat dari penyampaian melalui spanduk/baliho, pernyataan di media sosial, yang isinya berupa kritik dan protes.
“Tapi dengan cerdasnya, untuk menekan polemik agar tak melebar ke mana-mana, Gibran secara terbuka kemudian menyatakan menolak pilihan menjadi Cawapres,” ungkap Alexius.
Lebih menarik lagi, katanya, ketika koalisi partai yang tergabung pada Koalisi Indonesia Maju (KIM) mendeklarasikan pasangan Capres/Cawapres, Minggu malam (22/10/2023), ternyata Gibran yang dicalonkan sebagai Cawapres tidak terlhat hadir. Tentu saja menimbulkan banyak pertanyaan, dan keyakinan kalau Walikota Solo itu benar-benar tak mau jadi Cawapres.
“Ada pikiran yang berkembang di kalangan politik, meski KIM mencalonkan, tapi lantaran Gibran tak hadir, ada semacam keyakinan kalau putra sulung Jokowi itu memang menolak dicalonkan. Situasi gonjang-ganjing politik pun agak mereda,” imbuh Alexius.
Namun situasi kembali ramai ketika PS selaku Ketua Umum Partai Gerindra dan Capres mendeklarasikan dirinya berpasangan dengan Gibran pada Pilpres 2024 di kawasan Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta, Rabu (25/10/2023).
“Kayaknya Gibran pada pidato pertamanya, ia berusaha membendung situasi dengan menyatakan akan memenuhi mandat Undang-Undang (UU) No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, yakni bakal membentuk Dana Abadi Pesantren. Dan akan meningkatkan program bapaknya terkait Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan lainnya. Ini cukup menarik,” paparnya.
Tiga Pasang Kandidat
Dikatakan Alexius, setelah PS-GRR mendaftaran secara resmi sebagai Capres dan Cawapres ke KPU, maka tercatat ada tiga peserta Pilpres 2024, yakni: Ganjar-Mahfud, Prabowo-Gibran dan Anis-Imin. Berbeda dengan kandidat Pilpres sebelumnya, terdiri dari dua pasangan.
“Kalau Pilpres dulu hak pilih cuma dua pasang kandidat, kini suara terpecah jadi tiga. Dan sepertinya, pasangan PS-GRR harus membangun suara, mengingat kemunculan Gibran menimbulkan gonjang-ganjing, dan apatisnya sikap dukungan Jokowi,” ungkapnya.
Alexius juga mengingatkan pasangan Ganjar-Mahfud agar berhati-hati menjaga suara pemilih jangan terpecah. Dengan kenyataan yang terjadi, yakni masuknya Gibran dikancah Pilpres 2024, tak tertutup kemungkinan akan menyedot arus suara generasi melenial.
“Meski Gibran mewakili generasi Z, tapi anak muda dengan kecerdasaannya tentu dapat memilah-milah mana calon pemimpin yang menguntungkan atau tidak. Nah, dengan adanya tiga pasang kandidat, tentu ada ketidaksamaan pemahaman, dimana semula mengerucut lalu terpecah, dan tentu ini menguntungkan Capres lainnya,” urainya diakhir keterangan. (Ajie Jahruddin))