Jakarta, 1 April 2021
Setelah teror bom di Gereja Katedral Makassar pada 28 Maret 2021, pelaku terorisme _lone wolf_ (tindakan sendirian) berusaha menyerang Mabes Polri, namun berhasil dilumpuhkan oleh aparat.
_Lone wolf_ merupakan strategi mutakhir di kalangan kelompok dan jaringan teroris. Strategi tersebut memungkinkan siapa saja menjadi aktor teroris.
Dua peristiwa teror terakhir di Makassar dan di Jakarta menunjukkan bahwa kelompok pengusung ideologi teror masih eksis di Indonesia, termasuk dengan menggunakan strategi _lone wolf_. Jaringan Jamaah Ansharud Daulah (JAD) adalah salah satu jaringan terorisme yang paling menonjol mengadopsi strategi _lone wolf_ dalam menjalankan tindakan teror. JAD mengkapitalisasi pesatnya perkembangan teknologi informasi dan memanfaatkannya secara efektif untuk melakukan proses radikalisasi di ruang publik dengan menyasar kelompok-kelompok spesifik, yang memiliki potensi transformasi secara cepat untuk menjadi intoleran aktif, radikal, lalu jihadis dan melakukan amaliyah teror.
Eksistensi kelompok teroris ini dimungkinkan karena mengendurnya kepekaan dan melemahnya partisipasi masyarakat. Di sisi lain, berkembang upaya untuk mendelegitimasi tindakan polisional oleh institusi-institusi keamanan negara dalam menangani terorisme. Hal itu mendorong masyarakat menjadi permisif, karena berkembang persepsi bahwa terorisme adalah konspirasi atau rekayasa pihak-pihak tertentu.
Padahal, dua aksi terakhir, misalnya, menunjukkan betapa jejaring itu nyata dan keberadaan mereka membahayakan jiwa warga masyarakat. Demi melindungi kepentingan publik dan keselamatan warga, tindakan polisional yang terukur dan akuntabel, untuk melumpuhkan teroris dan jaringannya dibenarkan, _(permissible)_ dalam perpsektif hukum dan hak asasi manusia.
Namun, penyesatan opini yang mendeligitimasi tindakan koersif negara dalam menangani aksi terorisme masih terus berlangsung. Hal itu jelas menjadi kampanye distortif atas kinerja pemberantasan terorisme di satu sisi, dan semakin memperluas ruang radikalisasi publik dan memperkuat sikap permisif warga, di sisi lain. Padahal, ruang-ruang publik yang permisif terhadap intoleransi dan radikalisme merupakan _enabling environment_ atau lingkungan yang membuat dan mempercepat tumbuhnya terorisme dan rekonsolidasi jaringan dan sel-sel tidur terorisne
Terakhir, terorisme merupakan musuh bersama. Oleh karena itu, mobilisasi sumber daya dan dukungan bersama jelas dibutuhkan. Penanganan terorisme, mulai dari pencegahan hingga penindakan yang bersifat terukur dan akuntabel, harus dilakukan secara simultan untuk menjamin keamanan dan keselamatan seluruh warga negara. Masyarakat mesti berpartisipasi dalam pencegahan dan aparatur negara harus melakukan tindakan hukum yang akuntabel dan terukur dalam bentuk penindakan. Sinergi demikian akan membentuk imunitas kolektif dari penyebaran terorisme melalui saluran apapun, termasuk dengan memanfaatkan perkembangan teknologi, seperti media sosial dan internet.