Penegakan Hukum, Prabowo Tak Lagi Percaya KPK?
Rabu, 13 November 2024 | Dilihat: 290 Kali
Praktisi Hukum Stefanus Gunawan, SH, M.Hum
JAKARTA, Tabloidskandal.com – DIAWAL pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sepertinya gebrakan hukum terkait kasus korupsi hanya dilakukan oleh jajaran Kejaksaan dan Kepolisian, sementara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adem ayem. Tak ada aksi penangkapan maupun penetapan tersangka koruptor. Ini cukup mengejutkan, memang. Padahal laporan masyarakat tentang kasus korupsi yang masuk ke lembaga itu cukup banyak. Lantas, apakah Prabowo tak lagi percaya terhadap lembaga anti-rasuah tersebut?
Menurut advokat senior Stefanus Gunawan, SH, M.Hum, wajar jika seorang Presiden hilang rasa kepercayaannya terhadap suatu lembaga hukum yang dianggap melalaikan tanggung jawabnya. Terlebih konotasinya, ketentuan hukum yang dilanggar demi mencari keuntungan finansial, memperkaya diri dengan pundi-pundi uang.
“Jangan kan Presiden, sebagaian besar masyarakat saja sudah hilang selera kepercayaan terhadap KPK. Bayangkan saja, sumber daya manusia (SDM) di lembaga anti-rasuah itu mengalami dekandensi moral, atau demoralisasi. Banyak pelanggaran yang dilakukan oknumnya, mulai dari staf sampai pimpinan,” urai advokat yang juga menjabat Ketua Dewan Pimpinan Cabang Jakarta Barat (DPC Jakbar) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) SAI, kepada wartawan baru-baru ini.
Stefanus membeberkan, oknum KPK yang melakukan pelanggaran jumlahnya bukan lagi dalam hitungan jari, tapi sudah lebih dari seratus SDM. Sejarah mencatat, belum lama ini sedikitnya 90 staf KPK melakukan praktik pungutan liar (Pungli) secara masif. Anehnya, mereka tidak diproses secara pidana, tapi mendapat sanksi dari Dewan Pengawas (Dewas) KPK berupa hukuman permintaan maaf secara terbuka.
“Sanksi seperti itu tentu saja tidak membuat orang jera. Justru sebaliknya, akan memunculkan pelaku-pelaku baru. Mengingat sanksinya hanya berupa permintaan maaf. Padahal perbuatan Pungli, ancamannya adalah kurungan badan. Tapi kenapa tidak diterapkan. Ini kan aneh, dan membuat masyarakat tak lagi percaya KPK sebagai lembaga anti korupsi,” ujarnya.
Ditambahkan Stefanus, semakin tak lagi percaya terhadap KPK adalah terkait kasus Firli Bahuri. Mantan Ketua KPK itu pada 22 November 2023 ditetapkan sebagai tersangka dugaan pemerasan terhadap eks Menteri Pertanian Sahrul Yasin Limpo oleh Polda Metro Jaya, namun sejauh ini belum ditahan. Padahal syarat hukum untuk menahannya sudah cukup, baik alat bukti dan saksi-saksi.
“Kenapa tidak ditahan, tindakan inipun setidaknya dapat merusak citra Kepolisian. Karena itu, diharapkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mendesak Kapolda Metro Jaya agar menahan Firli Bahuri,” saran Stefanus.
Berkaitan maraknya kasus di lingkungan KPK, lanjutnya, tak tertutup kemungkinan Presiden Prabowo merintahkan kepada Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk mengambil alih kasus korupsi melibatkan pejabat negara.
“Selain itu, bisa saja Prabowo meminta kepada BPK agar setiap temuan kasus korupsi diserahkan kepada Kejaksaan atau Kepolisian untuk memproses hukum,” kata Stefanus.
Menurutnya lagi, indikasi itu dilihat dari gebrakan hukum Kejaksaan pada pasca sepekan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden, Minggu (20 Oktober 2024), selanjutnya diikuti pihak Kepolisian dua pekan berikutnya. Sementara KPK tak terlihat aksinya dalam mengawali pemerintahan baru Indonesia.
Dijelaskan praktisi hukum ini, ada tiga kasus diungkap institusi Kejaksaan, yakni korupsi di Jawa Timur, (Jatim), Sumatera Barat (Sumbar), serta impor gula yang merugikan keungan negara sebesar Rp 400 miliar dengan melibatkan Thomas Trikasih Lembong (TTL), mantan Menteri Perdagangan masa bakti 2015-2016 yang juga tim sukses pasangan Capres Anies Baswedan-Muhaimin Iskandan.
Kasus di Jatim, yakni dugaan penyuapan (gratifikasi) yang melibatkan tiga oknum hakim Pengadilan Negeri Surabaya (PN Surabaya), yaitu: ED, M dan HH, serta mantan pejabat Mahkamah Agung (MA), ZR. Ditambah oknum pengacara berinisial LH.
Penangkapan kelima pelaku gratifikasi tersebut dilakukan Tim Penyidik Pidana Khusus ((Pidsus) Kejagung pada Rabu (23 Oktober 2024) di Surabaya dan Jakarta. Atau tepatnya tiga hari setelah pelantikan Prabowo-Gibran.
Dugaan suap itu terkait putusan bebas terdakwa Gregorius Ronald Tannur (GRT) pelaku penganiayaan terhadap pacarnya, Dini Sera Afrianti, hingga tewas. Pihak Kejagung RI berhasil mengamankan uang tunai senilai Rp. 3,5 miliar yang telah diberikan kepada ketiga oknum hakim PN Surabaya.
Pada hari yang sama, Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat (Kejati Sumbar) menetapkan 11 dari 12 tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan lahan pembangunan tol Padang-Pekanbaru yang telah merugikan keuangan negara sebanyak Rp. 27 miliar. Satu pelaku di antaranya meninggal dunia.
Sembilan hari kemudian, tepatnya pada 29 Oktober 2024, Kejagung RI menetapkan mantan Mendag TTL atau lebih akrab dipanggil Tom Lembong, sebagai tersangka dugaan korupsi impor gula senilai Rp. 400 miliar.
Adapun aksi Kepolisian di awal pemerintahan Prabowo, yakni pada 5 November 2024 penyidik Bareskrim Polri melakukan gelar perkara sekaligus menetapkan mantan Direktur Umum PT Pertamina periode 2012-2014 Luhur Budi Djatmiko menjadi tersangka dugaan korupsi pembelian lahan seluas 48.279 meter persegi di kawasan Kuning an, Jakarta Selatan. Kasus ini berakibat negara merugi sebesar Rp. 348 miliar.
Ambil Alih
Jika mengamati kasus korupsi yang ditangani Kejaksaan dan Kepolisian di atas, menurut Stefanus, seolah-olah kewenangan KPK dalam hal penanganan atau atas suatu proses hukum korupsi diambil alih dua institusi hukum tersebut. Pertanyaannya, adakah kewenangan Kejaksaan dan Kepolisian memproses tindakan pidana korupsi, seperti halnya KPK?
“Sesuai ketentuan UU Nomor 11 Tahun 2021 perubahan atas UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, bahwa lembaga ini berwenang menangani kasus korupsi, kolusi dan nepotisme,” ungkap Stefanus.
Bahkan sebagai lembaga penegak hukum, lanjutnya, Kejaksaan dapat menangani kasus korupsi yang terjadi di tingkat pusat maupun daerah dengan nilai keugian negara berapun. Baik kasus kecil maupun besar. Dan sesuai ketentuan hukum, dapat melakukan pengusutan dan penyelidikan atas tindak pidana tertentu.
“Kepolisian pun berwenang menangani kasus korupsi. Ketentuan hukumnya ada pada Pasal 6 ayat (1) huruf a atau Pasal 7 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dimana polisi berwenang melakukan penyidikan tindak pidana korupsi (Tipikor),” ungkap Stefanus.
Sesuai ketentuan Pasal 11 UU Nomor 30 Tahun 2022 tentang KPK, lanjutnya, lembaga anti-rasuah KPK hanya dapat menangani kasus korupsi yang melibatkan penegak hukum dan penyelenggara negara, dengan nilai kerugian negara minimal satu milair rupiah.
“Kasus di Jatim melibatkan penegak hukum, namun justru yang menangani adalah Kejaksaan, bukan KPK. Jadi, patut dicurigai, apakah hal itu merupakan tindakan pengambil alihan kasus? Padahal, sesuai ketentuan hukum, yang berhak mengambil alih kasus korupsi yang tengah ditangani Kejaksaan dan Kepolisian adalah KPK,” pungkas Stefanus. (hse)