Gibran Menguat ke Bursa Pilpres
MK Bisa Menjadi Antitesa Kehendak Rezim
Kamis, 17 Agustus 2023 | Dilihat: 494 Kali
Hendardi Ketua Dewan Nasional SETARA Institute - Walikota Solo Gibran Rakabuming Raka (foto istimewa)
JAKARTA, tabloidskandal.com – Ketua Dewan Nasional SETARA Institute Hendardi menyatakan, bergabungnya Partai Golkar dan PAN ke koalisi Gerindra-PKB, banyak dianggap sebagai keberhasilan Jokowi dalam mencetak peran baru sebagai sentrum kontestasi Pilpres 2024, sekalipun melampaui standar etik politik kepartaian dan kenegaraan.
“Meskipun selalu dibantah, dengan segenap kuasa yang digenggam dan jebakan kasus-kasus hukum yang melilit sejumlah elit, Jokowi dengan mudah mendisiplinkan beberapa ketua umum partai politik untuk sebaris dengan kehendaknya,” kata Hendardi kepada wartawan, Rabu (16/8/2023).
Menurut dia, indikasi keberhasilan kerja politik Jokowi untuk menggemukkan koalisi yang mengusung Prabowo Subianto juga sejalan dengan operasi politik lain dengan menggunakan tangan Mahkamah Konstitusi (MK), yang menguji norma dalam UU Pemilu terkait batas usia Capres dan Cawapres.
“Sekalipun belum tentu ditujukan untuk kepentingan Gibran Rakabuming Raka, sulit bagi publik untuk tidak mengaitkan uji materi ini dengan upaya sistematis memuluskan jalan bagi anak presiden, yang belum genap lima tahun belajar memimpin sebuah kota kecil di Jawa Tengah,” ungkapnya.
Dikatakan Hendardi, baru-baru ini ada hasil survei yang mengunggulkan Gibran sebagai Cawapres paling populer menjadi pendamping Prabowo Subianto, dirilis dan diamplifikasi untuk memperkuat kelayakan elektoral putera Jokowi.
“Popularitas Gibran di angka 66,5% dengan tingkat kesukaan 82,6% melampaui Erick Thohir, Muhaimin Iskandar dan Airlangga Hartanto, meskipun tiga sosok terakhir ini memiliki mesin politik dan sebaran kader seluruh Indonesia,” paparnya.
Ditegaskan, survei dengan mempromosikan kandidat yang tidak memiliki syarat usia berdasarkan UU, memang tidak salah tetapi jelas tidak kondusif bagi upaya pematuhan rule of the game Pilpres, yang sudah ditetapkan dalam UU.
Menurut Hendardi, promosi kelayakan Gibran (35 tahun) untuk jadi Cawapres yang tidak proper secara hukum, adalah bagian agitasi yang bisa saja mempengaruhi MK, yang saat ini dipaksa menjadi penentu dapat atau tidaknya Gibran ikut berlaga.
“MK Konstitusi sudah sepantasnya menunda pemeriksaan perkara terkait batas usia ini hingga Pilpres usai, apalagi seluruh preseden, argumen dan yurisprudensi yang dicetak sendiri oleh lembaga ini menyatakan secara tegas, bahwa terkait batasan usia dalam pengisian jabatan publik adalah kebijakan hukum terbuka (open legal policy),” katanya.
Di bagian akhir Hendardi menyatakan, MK harus menjadi antitesa kecenderungan autocratic legalism yang sudah merasuk dan merusak prinsip-prinsip dasar bernegara dari rezim yang berkuasa.
“Autocratic legalism adalah suatu praktik penyelenggaraan negara yang memusatkan perhatiannya pada formalisme hukum dan seolah-olah benar menurut hukum, padahal yang dilakukannya adalah memupuk kekuasaan dan melanggar prinsip dasar berhukum dan bernegara,” pungkasnya. (*/Ajie J)