Terkait Uji Materiil Usia Capres/Cawapres
Putusan Majelis Kehormatan Dapatkah Merubah Keputusan MK?
Senin, 30 Oktober 2023 | Dilihat: 295 Kali
Praktisi Hukum Stefanus Gunawan, SH, M.Hum - Prabowo/Gibran (foto istimewa)
JAKARTA, tabloidskandal.com – Perkara yang telah diputus Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan putusan bersifat final, tak ada upaya hukum lain yang bisa merubah atau membatalkan, baik upaya ke pengadilan negeri maupun tata usaha negara.
“Jalan satu-satunya, apabila ada dugaan pelanggaran etik profesi hakim, atau konflik kepentingan, adalah melapor kepada Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Hasil sidangnya diharapkan dapat merubah putusan MK melalui mekanisme uji materiil kembali dengan pemohon berbeda,” papar praktisi hukum senior Stefanus Gunawan, SH, M.Hum, kepada wartawan, Minggu (29/10/2023).
Pernyataan Stefanus di atas berkaitan dengan putusan MK dalam perkara No. 90/PUU-XXI/2023 , yakni uji materiil konstitusional Pasal 169 huruf q Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dalam konteks batasan usia calon presiden dan calon wakil presiden (Capres/Cawapres) yang dibacakan pada Senin (16/10/2023).
Advokat ini mengapresiasi 16 guru besar yang tergabung pada Constitutional and Administrative Law Siciety (CALS), serta lima kelompok masyarakat lainnya: Pergerakan Advokat (Perekat) Nusantara, Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Indonesia (PBHI), Dewan Pimpinan Pusat Advokasi Rakyat untuk Nusantara (DPP ARUN), dan Komunitas Advokat Lingkar Nusantara (Lisan) telah melaporkan dugaan pelanggaran etik Sembilan hakim MK yang mengadili perkara No. 90/PUU-XXI/2023.
Seperti diketahui, Ketua MKMK Prof. Jimly Asshidiqie kepada wartawan membenarkan bahwa pihaknya mendapat laporan dari beberapa kelompok masyarakat terkait putusan perkara No. 90/PUU-XXI/2023 yang dinilai kontroversi. Untuk itu ia segera merespon dengan pembentukan MKMK beranggotakan Wahiduddin Adams (hakim MK), Prof. Bintan Saragih (pakar hukum) dan Prof. Jimly Asshididiqie (mantan Ketua MK). Dan rencananya pada Selasa (31/10/2023).
“Masyarakat harus mendukung upaya hukum kelompok pemohon yang melapor adanya dugaan pelanggaran etik, serta mendorong MKMK melakukan pemeriksaan terhadap sembilan hakim MK. Jika hasilnya majelis etik mendapat bukti adanya pelanggaran etik profesi hakim, maka MK akan melakukan persidangan kembali dengan pemohon lain, dan akan memperbaiki putusan sebelumnya,” tegas Stefanus.
Menurut advokat senior ini, pengujian pasal atau materi yang sudah diputus, sebenarnya tidak dapat diuji kembali. Asas hukum ne bis in idem pada dasarnya melarang mengadili suatu perkara kedua kalinya. Termasuk putusan MK.
“Namun demikian, ada pengecualian pengujian materiil yang telah diuji apabila dalam prosesnya ada pelanggaran etik. Dalam perkara uji batas usia Capres/Cawapres, putusannya bisa diuji untuk kedua kalinya apabila majelis kehormatan menemukan pelanggaran. Asal saja ada pemohon lain yang ingin menguji kembali perkara yang sama,” ungkap Stefanus.
Artinya, tambah dia, perkara Pasal 169 huruf q UU Pemilu terkait batasan usia Capres/Cawapres yang sudah diputus, dapat diadili kembali oleh MK, sepanjang ada pelanggaran etik yang ditemukan MKMK.
“Sidang kembali dengan adanya pengecualia, dapat dibenarkan secara hukum, yakni Pasal 78 Peraturan MK No. 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang,” katanya.
Dikata lagi, sejak putusan menguji konstitusional Pasal 169 huruf q UU Pemilu dibacakan, ia sudah mencium gelagat adanya suatu kejanggalan. Khususnya pada amar yang menyatakan: Berusia paling rendah40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.
“Kalau boleh disimpulkan, amar putusan MK itu secara jelas ada pihak yang diuntungkan. Siapa? Menurut berbagai pendapat yang berkembang di tengah masyarakat, tak lain adalah Gibran yang digadang-gadang jadi Cawapres Prabowo, walikota Solo yang baru berusia 36 tahun, belum genap 40 tahun,” ungkap Stefanus.
Ditambahkan, meski belum dibatas minimal usia Capres/Cawapres sesuai ketentuan UU Pemilu, tapi dipaksakan dengan alasan yang bersangkutan sedang menjabat walikota.
“Pencalonan itu sebagaimana amar putusan MK, seolah-olah tak jadi masalah mendampingi Prabowo sebagai Cawapres. Inilah salah bentuk yang patut diduga melanggar UU Pemilu,” ungkap Stefanus Gunawan, Ketua DPC Jakarta Barat Peradi SAI.
Kejanggalan lainnya, sebut dia, ternyata Gibran merupakan keponakan Ketua MK, Anwar Usman, yang juga menjadi hakim dalam perkara tersebut. Inipun patut diduga melanggar ketentuan etika profesi hakim.
“Menurut saya, Anwar Usman hakim MK yang mengadili uji materiil tak mau mundur, meski diketahui kaitannya kekeluargaan dengan pihak yang diuntungkan (Gibran), maka putusannya dapat dikategorikan cacat hukum. Sudah sepantasnya MKMK membatalkannya,” imbuh Ketua LBH Serikat Seniman Indonesia.
Diingatkan, dampak lain dari kejanggalan itu, akhirnya negeri ini jadi riuh oleh berbagai pendapat dari kalangan masyarakat yang menilai keliru atas putusan MK dalam perkara No. 90/PUU-XXI/2023. Bahkan, selain penilaian, ada pula melapor ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan mengajukan gugatan ke pengadilan negeri.
UU Kehakiman
Dibagian lain Stefanus menegaskan, bahwa putusan itu juga patut diduga melanggar Undang-Undang N.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kehakiman). Khususnya Pasal 17 ayat (4), (5) dan (6).
“Pasal itu sendiri terdiri dari tujuh ayat, yang pada dasarnya cukup jelas dipaparkan kewajiban bagi seorang hakim untuk tidak boleh semena-mena dalam memutus suatu perkara, dan tidak boleh melanggar ketentuan tersebut,” ujarnya.
Dipaparkan, dalam Pasal 17 ayat (6) UU Kehakiman disebutkan: Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Dalam upaya penegakan hukum, seyogianya tidak boleh ada kepentingan politik. Bahkan harus dipisahkan dengan kepentingan politik. Hukum harus jadi panglima untuk kepentingan rakyat, untuk menegakan hukum dan keadilan,” pungkasnya. (Ajie/Sin)